JKN Diragukan Elit Politik Jembrana

9 Mei 2015, 07:16 WIB
ilustrasi

Kabarnusa.com – Program JKN dikalangan elit politik di Jembrana juga tidak mendapat respon baik. Bahkan cendrung menolak program ini, terutama dari kalangan luar PDIP karena dicurigai tidak langgeng dan ada kepentingan politik.

I Wayan Suardika, anggota DPRD Jembrana dari partai Golgar misalnya. Ditemui Rabu (1/4/2015) di Kantor DPRD Jembrana mengatakan, secara nurani dia kurang menerima program tersebut karena sangat kental dengan nuansa bisnisnya.

Mengingat iuran yang dipungut dari warga perbulannya bukan semata-mata untuk biaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tapi juga untuk kepntingan lain termasuk untuk menggaji sekian banyak pegawai BPJS.

“Ini berbeda dengan JKBM, murni anggarannya untuk memberikan pelayanan kesehatan masyarakat. Kalau BPJS itu jika ada peserta yang tidak menggunakan uangnya tidak bisa kembali dan itu juga untuk gaji karyawannya,” ujarnya.

Demikian halnya terkait kelangsungan program ini dia tidak menjamin akan kekal lantaran BPJS itu merupakan produk UU atau politik yang tentunya ada kepentingan politik dan sewaktu-waktu bisa berubah.

“Tapi karena sudah diundangkan, ya kita terima karena kami warga negara yang taat aturan. Tapi yang kami harapkan dalam pelaksanaannya jangan mengutamakan bisnis, tapi kedepankan pelayanan kesehatan,”tungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Putu Dwita, anggota DPRD Jembrana dari Demokrat. Dia mengatakan JKN adalah produk politik yang tidak ada bisa menjamin akan berubah susuai kebutuhan politik.

“Kepentingan politik jelas ada di balik lahirnya program ini. Kami sebenarnya kurang menerimanya karena ada beban yang ditanggung masyarakat. Takutnya lima tahun kemudian proram ini hilang karena ada kebijakan lain dari pimpinan baru,” ujarnya.

Sementara itu dari pemerintah daerah melalui Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jembrana dr Putu Suasta Kamis (2/4/2015) mengatakan, awal program JKN ini digulirkan semua kepala daerah di Bali sebenarnya menolak karena akan membebani APBD.

Menurutnya di Bali sebelumnya sudah ada JKBM dan anggarannya sepenuhnya ditanggung pemerintah dengan hitung-hitungan, 77 persen ditanggung provinsi dan 23 persen ditanggung pemerintah daerah. Masyarakat semua golongan tidak dipungut iuran karena ditanggung pemerintah.

Untuk JKBM perbulannya pemerintah mengeluarkan iuran Rp 10 ribu per orang. Dari angka ini Rp 7700 ditanggung provinsi sedangkan Rp 2300 ditanggung pemerintah daerah. “Sedangkan JKN kesehatan iuran perbulannya Rp 25 ribu per orang.

“Ini siapa yang menangungnya karena belum ada kejelasan. Jika ditangung pemerintah daerah jelas akan membebani APBD. Masak masyarakat harus dilepas membayar sendiri, kan ngak mungkin karena ini kaitannya dengan investasi politik,” ujar Suasta ditemui di ruang kerjannya.

Di masyarakat menurut Suasta ada penggolangan tiga warna yakni Merah, Kuning dan Hijau. Kalau yang merah atau warga miskin itu memang menjadi tangungan pemerintah daerah.

Namun untuk warga kuning atau kelompok penghasilan menengah siapa yang tangung, termasuk yang hijau atau golongan atas tidak mungkin ditanggung pemerintah dengan iuran Rp 25 ribu perbulan sangat akan membebani APBD.

“Terkecuali jika masyarakat mau masuk JKN mandiri, tapi itu akan berimbas pada investasi politik kepala daerah,” katanya.

Lagi pula menurut Suasta, dana dari masyarakat perbulannya akan seluruhnya masuk ke BPJS dan tidak pernah ada sisa karena iuran itu ingklud untuk gaji karyawan.

“Kalau JKBM kemungkinan masih ada sisa dan bisa digunakan tahun depannya. Contohnya anggaran JKBM untuk tahun 2014 kita anggarkan rp 10 milyar, tapi hanya terpakai Rp 6 milyar. Sisanya bisa dipakai tahun sekarang. Tapi kalau BPJS tidak bisa seperti itu,” terangnya.

Tapi karena BPJS telah diundangkan menurut Suasta harus diterima dan pihaknya juga akan berusaha melakukan perbaikan pelayanan dibidang kesehatan.

Dia juga mengaku tidak bisa menjamin BPJS akan kekal atau bertahan sampai 25 tahun mengingat ini adalah produk politik yang sewaktu-waktu bisa berubah tergantung siapa yang memimpin.

Wayan Suardika

Menurut Suasta BPJS belum bisa berjalan mulus jika masih ada JKBM di Bali. Untuk itu provinsi mempercepat peleburan dari JKBM ke BPJS kesehatan Januari 2017 padahal batas waktu hingga Januari 2019.

“Tapi meskipun JKMB sudah bergabung ke BPJS kesehatan, masyarakat Bali masih bisa menggunakan JKBM hingga Januari 2019,”imbuhnya.

Di sisi lain I Made Kurniawan, salah seorang pengguna BPJS mengatakan merasakan manfaat lebih dari BPJS.

Dia mencontohkan salah satu anggota keluarganya harus menjalani oprasi karena penyakit tertentu di RSUP Sanglah dengan menghabiskan dana Rp 40 juta dan itu seluruhnya ditanggung BPJS. Tapi jika menggunakan JKBM tidak mungkin bisa mengkaper semua biaya itu.

“Tapi memang birokrasinya agak ribut karena berjenjang, tapi semua biaya ditanggung,” kata Kurniawan Jumat (3/4/2015) di Negara. (Dewa Putu Darmada)

Berita Lainnya

Terkini