Kabarnusa.com – Presiden Joko Widodo diminta mencabut Perpres 51 Tahun 2014 agar di masa depan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi yang menopang berbagai bentuk kehidupan tetap terjaga.
Anggota Komisi VI DPR RI Nyoman Dhamantra, mengungkapkan kekhawatiranya terkait masa depan Bali, khususnya polemik Reklamasi Teluk Benoa yang kini bergulir di masyarakat.
“Sebagai seorang pelayan rakyat yang didaulat berbicara mewakili aspirasi masyarakat luas, saya diwajibkan menerangkan dengan sejujurnya,” tulis Dhamantra dalam surat terbukanya sebagaimana diperoleh dari balebengong.net.
Kata dia, keberatan paling signifikan terkait dengan persoalan adat, agama, dan kebudayaan masyarakat Bali.
Menurutnya, reklamasi Teluk Benoa akan mengusik akar ritual Hindu, khususnya tradisi pemujaan terhadap laut (Segara Kertih). Dalam agama Hindu Bali, simpul-simpul air dianggap sakral sebab merupakan sumber kehidupan.
Diketahui, keputusan lembaga pengayom umat Hindu tertinggi di Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat No.11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang kesucian Pura menyatakan campuhan (pertemuan sungai), pantai, dan laut diyakini memiliki kesucian.
Atas dasar itu, Pura dan tempat suci umumnya didirikan di kawasan tersebut.
“Ada beberapa titik-titik suci di kawasan Teluk Benoa, yang jika direklamasi akan mengganggu akses masyarakat untuk melakukan ritual,” kata politikus PDIP asal Bali itu.
Pemeluk agama Hindu diajarkan untuk mencintai alam, kekuatan para dewata dimanifestasikan ke dalam fenomena alam.
“Laut adalah kekuatan Sang Hyang Varuna, sehingga menimbun lautan merupakan sesuatu yang terlarang di dalam ajaran Hindu,” sambungnya dalam surat yang dibuat 30 Januari 2016 itu.
Di dalam ritual Melasti (penyucian) dan juga Ngaben, lautan merupakan penopang spiritualitas masyarakat Hindu Bali.
Ketika anggota keluarga, orang tua maupun kerabat yang kita cintai meninggal dan dikremasi, abu mereka ditebarkan di laut.
Demikian pula, arti laut demikian penting, karena tempat persemayaman para leluhur masyarakat Hindu.
Menimbun, membangun, mengubah alam secara ekstrem merupakan perilaku yang serakah (Lobha) yang merupakan jalan keburukan (Adharma) yang akan mengakibatkan disharmonisasi hubungan manusia dengan dunianya.
Aksi penolakan massa terhadap reklamasi dan pengerukan pasir di Lombok (28 Januari 2016) juga di Denpasar, Bali (29 Januari 2016) sudah berkulminasi sedemikian rupa. Bagi sebagian besar masyarakat Bali, perlawanan ini adalah sesuatu yang personal.
Sudah 11 Desa Adat yang secara tegas menolak reklamasi dan menerbitkan surat secara resmi, suara mereka mencerminkan bagaimana terhimpitnya masyarakat lokal jika proyek reklamasi ini diteruskan.
Saya berharap ada keberpihakan kepada masyarakat sehingga mencegah dari kemungkinan konflik-konflik horizontal. Kearifan Bapak Presiden dalam menimbang persoalan ini akan sangat monumental bagi masa depan Bali yang tentram, sejahtera dan damai.
“Dengan kerendahan hati dan permohonan agar Bapak Presiden R.I mencabut Peraturan Presiden No. 51 tahun 2014, dan berkenan mengembalikan status Teluk Benoa sebagai wilayah cagar alam dan budaya,” harapnya. (rhm)