|  | 
| Direktur Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung/Dok. INW | 
Denpasar – Terus meningkatnya jumlah pemadat narkoba jenis sabu dan
 ekstasi dari tahun ke tahun dan harga jual kedua jenis narkoba tersebut tinggi
 sehingga menjadikan Indonesia sebagai pasar besar yang potensial bagi
 penyelundup narkoba.
Direktur Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung mengungkapkan, di pasaran
 gelap, narkoba jenis sabu harga 1 gramnya mencapai Rp 1, 5 juta. Dan yang
 lebih miris lagi, menurut pengakuan para tersangka narkoba, hukum di Indonesia
 terhadap para pelaku narkoba sangat ringan dan mudah diatur.
Kristal sabu itu tak hanya berasal dari negara-negara yang disebut sebagai The
 Golden Triangle (segitiga emas) dalam dunia hitam penyelundupan narkoba,
 seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
“Sudah banyak catatan kejahatan narkoba jenis sabu dari jaringan narkoba asal
 Timur Tengah (Iran). Sindikat ini selain menguasai pasar gelap narkoba di
 kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia,” ungkap Budi dalam siaran pers,
 Selasa (15/6/2021).
Jaringan narkoba Iran sebenarnya telah terendus di Indonesia sejak lama.
 Berdasarkan data Direktorat Reserse Narkoba Bareskrim Polri, sindikat narkoba
 dari negara Timur Tengah itu mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun
 2009-Mei 2021.
Dalam rentang waktu sebelas tahun 5 bulan ini, setidaknya sebanyak 2.097 ton
 sabu telah disita oleh aparat. Bila dikonversi dengan harga dipasaran gelap
 sabu, total nilainya sangat fantastis mencapai Rp 3,145 triliun.
Penyelundupan sabu oleh jaringan sindikat narkoba Timur Tengah pada kurun
 waktu 2 tahun ini saja, terbesar terjadi pada 22 Mei 2020 di Serang (barang
 bukti sabu 821 Kg) berikutnya 4 Juni 2020 di Sukabumi (402 Kg) dan pada Mei
 2021 di Gunung Sindur Kabupaten Bogor seberat 310 Kg.
Para penyelundup narkoba sabu Timur Tengah asal Iran ini menggunakan cara,
 melalui jalur laut.
Dengan strategi ship to ship, dari kapal ke kapal di tengah lautan. Kapal yang
 membawa narkoba langsung dari Timur Tengah melalui Samudera Hindia dan
 tujuannya ke Aceh, dan ke beberapa wilayah di Pulau Sumatera dengan melewati
 jalur-jalur tikus.
Disebutkan, dari Aceh barang haram ini pada umumnya dibawa oleh kurir
 Indonesia ke Pulau Jawa melalui jalan darat, dengan sistim sel terputus.
Jenis narkoba selain sabu yang cukup marak di Indonesia, adalah pil ekstasi
 atau lebih dikenal dengan sebutan Inex. Diungkapkan Budi, peredaran inex di
 Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia, umumnya terjadi di tempat hiburan
 malam.
Dari hasil investigasi INW baru-baru ini, harga sebutir inex di dalam diskotek
 NS di Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat mencapai Rp 650 ribu melalui waiters.
 Dan Rp 500. 000 langsung dari kaki tangan bandar.
Diskotek NS disinyalir sebagai tempat peredaran narkoba jenis inex terbesar di
 Ibukota Jakarta.
Hari ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit merilis keberhasilan Polda Metro Jaya
 mengungkap penyelundupan narkoba jenis sabu jaringan sindikat Timur Tengah
 dengan barang bukti seberat 1,1 ton.
Kristal setan ini disita dari empat lokasi berbeda.
Dari sisi jumlah barang bukti yang berhasil disita kali ini, INW manaruh
 apresiasi kepada pimpinan Polda Metro Jaya beserta anggota yang bekerja keras
 di lapangan. Namun di sisi lain, INW merasa sangat prihatin kenapa barang
 haram sebanyak itu masih bisa lolos masuk ke Indonesia.
Ini membuktikan bahwa masih lemahnya sistem pengamanan yang sudah ada. Bisa
 juga karena masih ada oknum-oknum yang berani bekerjasama dengan para sindikat
 untuk memudahkan proses masuknya barang haram ini ke Indonesia.
Peralatan canggih yang dapat mendeteksi narkoba di seluruh bandara ataupun
 pelabuhan di Indonesia juga belum sepebuhnya digunakan sebagaimana mestinya.
 Terbukti, tidak jarang narkoba yang masuk ke sebuah daerah dibawa masuk oleh
 pelaku melalui bandara atau pelabuhan.
Di samping itu, masih lemahnya penegakan hukum di Indobesia, menjadi salahsatu
 dari sekian banyak alasan bagi sindikat narkoba memilih Indonesia sebagai
 pasar paling potensial.
Oleh sebab itu, INW kembali mengingatkan aparat penegak hukum jangan ada lagi
 yang berkompromi dengan pelaku kejahatan narkoba.
INW mendesak Kapolri dan pimpinan lembaga penegak hukum lainnya, untuk lebih
 serius dan lebih tegas kepada oknum aparatnya yang terlibat dalam kejahatan
 narkoba maupun yang terlibat dalam praktek kongkalikong proses hukumnya.
Langkah Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo membentuk Kampung Tangguh
 Narkoba (KTN) di seluruh jajaran Polda se-Indonesia, merupakan langkah yang
 sangat tepat dan strategis dalam upaya pencegahan peredaran narkoba sejak
 dini.
Meskipun konsep KTN Kapolri ini nenurut INW terbilang terlambat, namun tidak
 ada kata terlambat dalam upaya penyelamatan anak bangsa dari bahaya narkoba
 yang saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Kebijakan KTN ini wajib hukumnya didukung oleh semua pihak,” tegas jurnalis
 senior ini.
Pihaknya menilai, instruksi Kapolri ke seluruh jajarannya untuk membangun KTN,
 adalah sebuah sinyal kuat pertanda bahwa seluruh wilayah Indonesia sudah dalam
 kondisi sangat-sangat darurat natkoba.
Bisa dikatakan Indonesia sebagai salahsatu negara di Asia Tenggara yang sudah
 berstatus zona merah narkoba, kini sudah berubah menjadi hitam. Seluruh stake
 holder, tokoh masyarakat, para orang tua dan kalangan media harus memiliki
 komitmen yang kuat untuk lebih serius berperang melawan narkoba.
Selama pandemi covid 19, grafik pengungkapan dan penindakan kejahatan narkoba
 terus bergerak naik dengan jumlah barang bukti narkoba yang sangat fantastis.
 Artinya, semakin sempitnya ruang gerak masyarakat, memicu makin tingginya
 permintaan pasar akan narkoba.
“Kondisi dan peluang inilah yang dimanfaatkan oleh para sindikat narkoba
 internasional,” tutup Budi. (rhm)
 
 
 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 