Jumlah Pemakai Meningkat, Penyelundup Narkoba Incar Indonesia sebagai Pasar Besar Potensial

15 Juni 2021, 14:36 WIB

Direktur Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung/Dok. INW

Denpasar – Terus meningkatnya jumlah pemadat narkoba jenis sabu dan
ekstasi dari tahun ke tahun dan harga jual kedua jenis narkoba tersebut tinggi
sehingga menjadikan Indonesia sebagai pasar besar yang potensial bagi
penyelundup narkoba.

Direktur Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung mengungkapkan, di pasaran
gelap, narkoba jenis sabu harga 1 gramnya mencapai Rp 1, 5 juta. Dan yang
lebih miris lagi, menurut pengakuan para tersangka narkoba, hukum di Indonesia
terhadap para pelaku narkoba sangat ringan dan mudah diatur.

Kristal sabu itu tak hanya berasal dari negara-negara yang disebut sebagai The
Golden Triangle (segitiga emas) dalam dunia hitam penyelundupan narkoba,
seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

“Sudah banyak catatan kejahatan narkoba jenis sabu dari jaringan narkoba asal
Timur Tengah (Iran). Sindikat ini selain menguasai pasar gelap narkoba di
kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia,” ungkap Budi dalam siaran pers,
Selasa (15/6/2021).

Jaringan narkoba Iran sebenarnya telah terendus di Indonesia sejak lama.
Berdasarkan data Direktorat Reserse Narkoba Bareskrim Polri, sindikat narkoba
dari negara Timur Tengah itu mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun
2009-Mei 2021.

Dalam rentang waktu sebelas tahun 5 bulan ini, setidaknya sebanyak 2.097 ton
sabu telah disita oleh aparat. Bila dikonversi dengan harga dipasaran gelap
sabu, total nilainya sangat fantastis mencapai Rp 3,145 triliun.

Penyelundupan sabu oleh jaringan sindikat narkoba Timur Tengah pada kurun
waktu 2 tahun ini saja, terbesar terjadi pada 22 Mei 2020 di Serang (barang
bukti sabu 821 Kg) berikutnya 4 Juni 2020 di Sukabumi (402 Kg) dan pada Mei
2021 di Gunung Sindur Kabupaten Bogor seberat 310 Kg.

Para penyelundup narkoba sabu Timur Tengah asal Iran ini menggunakan cara,
melalui jalur laut.

Dengan strategi ship to ship, dari kapal ke kapal di tengah lautan. Kapal yang
membawa narkoba langsung dari Timur Tengah melalui Samudera Hindia dan
tujuannya ke Aceh, dan ke beberapa wilayah di Pulau Sumatera dengan melewati
jalur-jalur tikus.

Disebutkan, dari Aceh barang haram ini pada umumnya dibawa oleh kurir
Indonesia ke Pulau Jawa melalui jalan darat, dengan sistim sel terputus.

Jenis narkoba selain sabu yang cukup marak di Indonesia, adalah pil ekstasi
atau lebih dikenal dengan sebutan Inex. Diungkapkan Budi, peredaran inex di
Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia, umumnya terjadi di tempat hiburan
malam.

Dari hasil investigasi INW baru-baru ini, harga sebutir inex di dalam diskotek
NS di Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat mencapai Rp 650 ribu melalui waiters.
Dan Rp 500. 000 langsung dari kaki tangan bandar.

Diskotek NS disinyalir sebagai tempat peredaran narkoba jenis inex terbesar di
Ibukota Jakarta.

Hari ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit merilis keberhasilan Polda Metro Jaya
mengungkap penyelundupan narkoba jenis sabu jaringan sindikat Timur Tengah
dengan barang bukti seberat 1,1 ton.

Kristal setan ini disita dari empat lokasi berbeda.

Dari sisi jumlah barang bukti yang berhasil disita kali ini, INW manaruh
apresiasi kepada pimpinan Polda Metro Jaya beserta anggota yang bekerja keras
di lapangan. Namun di sisi lain, INW merasa sangat prihatin kenapa barang
haram sebanyak itu masih bisa lolos masuk ke Indonesia.

Ini membuktikan bahwa masih lemahnya sistem pengamanan yang sudah ada. Bisa
juga karena masih ada oknum-oknum yang berani bekerjasama dengan para sindikat
untuk memudahkan proses masuknya barang haram ini ke Indonesia.

Peralatan canggih yang dapat mendeteksi narkoba di seluruh bandara ataupun
pelabuhan di Indonesia juga belum sepebuhnya digunakan sebagaimana mestinya.
Terbukti, tidak jarang narkoba yang masuk ke sebuah daerah dibawa masuk oleh
pelaku melalui bandara atau pelabuhan.

Di samping itu, masih lemahnya penegakan hukum di Indobesia, menjadi salahsatu
dari sekian banyak alasan bagi sindikat narkoba memilih Indonesia sebagai
pasar paling potensial.

Oleh sebab itu, INW kembali mengingatkan aparat penegak hukum jangan ada lagi
yang berkompromi dengan pelaku kejahatan narkoba.

INW mendesak Kapolri dan pimpinan lembaga penegak hukum lainnya, untuk lebih
serius dan lebih tegas kepada oknum aparatnya yang terlibat dalam kejahatan
narkoba maupun yang terlibat dalam praktek kongkalikong proses hukumnya.

Langkah Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo membentuk Kampung Tangguh
Narkoba (KTN) di seluruh jajaran Polda se-Indonesia, merupakan langkah yang
sangat tepat dan strategis dalam upaya pencegahan peredaran narkoba sejak
dini.

Meskipun konsep KTN Kapolri ini nenurut INW terbilang terlambat, namun tidak
ada kata terlambat dalam upaya penyelamatan anak bangsa dari bahaya narkoba
yang saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan.

“Kebijakan KTN ini wajib hukumnya didukung oleh semua pihak,” tegas jurnalis
senior ini.

Pihaknya menilai, instruksi Kapolri ke seluruh jajarannya untuk membangun KTN,
adalah sebuah sinyal kuat pertanda bahwa seluruh wilayah Indonesia sudah dalam
kondisi sangat-sangat darurat natkoba.

Bisa dikatakan Indonesia sebagai salahsatu negara di Asia Tenggara yang sudah
berstatus zona merah narkoba, kini sudah berubah menjadi hitam. Seluruh stake
holder, tokoh masyarakat, para orang tua dan kalangan media harus memiliki
komitmen yang kuat untuk lebih serius berperang melawan narkoba.

Selama pandemi covid 19, grafik pengungkapan dan penindakan kejahatan narkoba
terus bergerak naik dengan jumlah barang bukti narkoba yang sangat fantastis.
Artinya, semakin sempitnya ruang gerak masyarakat, memicu makin tingginya
permintaan pasar akan narkoba.

“Kondisi dan peluang inilah yang dimanfaatkan oleh para sindikat narkoba
internasional,” tutup Budi. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini