Jurnalis Diintimidasi, AJI Harapkan Media Lakukan Introspeksi

5 Desember 2016, 09:00 WIB

JAKARTA – Tindakan intimidasi yang dilakukan sekelompok masyarakat terhadap jurnalis saat meliput aksi 2 Desember 2016 (dikenal aksi 212) di Jakarta mendapat kecamana Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta seraya juga meminta perusahaan media juga melakukan introspeksi.

Intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun karena jurnalis bekerja dilindungi Undang-Undang Pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam intimidasi dan kekerasan diduga dilakukan sejumlah peserta aksi 2 Desember 2016 terhadap beberapa jurnalis Metro TV di halaman Masjid Istiqlal dan di depan Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat Gambir Jakarta.

AJI Jakarta telah merangkum keterangan kronologisnya, jurnalis Metro TV diintimidasi massa demo 212 adalah Shinta Novita (juru kamera) dan Aftian Siswoyo ( reporter )dan Rifai Pamone (reporter). Selain mengecam kekerasan terhadap jurnalis, Televisi secara kelembagaan diimbau tetap profesional, berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, dan independen menyiarkan berita.

Selain jurnalis di lapangan perlu waspada saat liputan, media televisi juga memperhatikan keamanan dan keselamatan jurnalis di lapangan yang sedang meliput unjuk rasa yang berpotensi konflik. “Televisi jangan hanya mau beritanya, tapi tidak mau memperhatikan keselamatan jurnalisnya yang mencari berita,” kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim dalam keteragan tertulisnya belum lama ini.

Selain di Jakarta, kamerawan RCTI Wara juga diintimidasi oleh anggota Brigade Mobil yang menjaga gerbang Markas Komando Brimob Depok, Jumat malam pukul 21.00.

Dia mau meliput penangkapan aktivis tersangka perencanaan makar di sana. Polisi sempat menarik dan mengambil kamera yang menyorot mereka. Walau kamera sudah dikembalikan, tindakan polisi tersebut tidak bisa dibenarkan.

Melihat fakta di atas, kebebasan pers diancam oleh kelompok masyarakat dan anggota kepolisian yang tidak senang terhadap media dan liputan media.

Ancaman ini tidak bisa dibiarkan dan didiamkan. Dalam negara demokrasi, jurnalis dilindungi oleh UU Pers saat bekerja, mulai mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik.

Bila jurnalis diintimidasi dan dihalang-halangi saat liputan, hak masyarakat untuk memperoleh berita yang benar dan akurat terhambat. Bila ada masalah dengan pemberitaan disediakan ruang beradab berupa hak jawab, koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers.

Melihat kasus-kasus intimidasi dan kekerasan menimpa jurnalis tersebut, AJI Jakarta mengecam keras intimidasi dan kekerasan terhadap jurnsalis oleh massa demo 212. AJI juga Mendorong manajemen Metro TV dan RCTI untuk melaporkan kasus intimidasi dan kekerasan ini kepada kepolisian agar pelaku diadili.

Selama ini, kekerasan terhadap jurnalis kerap berulang karena korban enggan melaporkan kasusnya ke kepolisian dan pada saat yang sama laporan yang sudah masuk jarang ditindaklanjuti oleh kepolisian.

“Kami mendorong kepolisian untuk segera mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan membawa pelakunya sampai pengadilan. Proses hukum ini penting agar ada pembelajaran bagi masyarakat bahwa mengintimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis adalah melawan hukum,” katanya.

Pihaknya. mengimbau Metro TV, yang menggunakan frekuensi publik, untuk tetap memproduksi siaran berita yang independen, berimbang, akurat, dan berpegang teguh kepada kode etik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam kasus Metro TV, pada unjuk rasa 4 November lalu, ada juga jurnalisnya yang diintimidasi oleh demonstran yang tidak senang dengan berita televisi ini. Karena itu, redaksi Metro TV perlu juga introspeksi mengapa menjadi sasaran kemarahan demonstran. Pengelola televisi perlu diingatkan bahwa jurnalisme bertumpu kredibilitas media dan kepercayaan penonton.

PIhaknya, juga ,engimbau semua pemimpin redaksi dan petinggi media untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya di lapangan yang meliput unjuk rasa atau liputan di daerah yang berpotensi konflik.

Para reporter dan juru kamera adalah garda terdepan dalam proses produksi berita. Keamanan dan keselamatan mereka harus diutamakan. Manajemen media harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas.

“Kami mndesak Dewan Pers dan KPI untuk lebih ketat mengawasi dan menegur stasiun televisi yang beritanya dinilai menabrak kode etik dan pedoman penyiaran,” tegasnya lagi. (des)

Berita Lainnya

Terkini