Kearifan Lokal dan Penguatan Masyarakat untuk Entaskan Kemiskinan

14 November 2014, 16:28 WIB

TABANAN – Pelibatan masyarakat dan penguatan nilai-nilai lokal (local genius) menjadi kunci penting guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam upaya untuk memutus rantai kemiskinan di Tanah Air.

Menurut I Gusti Agung Prana pelaku pariwisata yang juga pemilik Puri Tamansari, Belayu, Marga, Tabanan, upaya untuk mengembangkan desa tertinggal, seperti yang dilakukan di Desa Pemuteran Kabupaten Bulelng tak bisa dilepaskan dari dua faktor di atas.

Kala itu, kondisi desa itu sangat memprihatinkan di mana masyarakatnya dihimpit kemiskinan. Demikian juga, kekeringan menjadi pemandangan biasa dan nyaris mengubur impian masyarakat. Padahal, banyak potensi sumber daya alam di wilayah tersebut seperti perairan dan panorama bukit dan pegunungan yang indah.

Mulailah, dia mengenalkan konsep pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada kearifan lokal dan otensitas yang dimiliki. Selama beberapa tahun dia akhirnya bisa mengajak masyaakat untuk memiliki dan membangun kepariwisataan yang berbasis masyarakat.

“Untuk melindungi masyarakat kecil maka dibuatlah awig-awig yang mengatur bahwa pembanguann akomodasi pondok wisata hanya boleh dilakukan oleh warga setempat,” sambung mantan Ketua ASITA Bali itu.

Demikian pula, berbagai sarana dan kegiatan pariwisata dikelola oleh masyarakat setempat mulai wisata bahari, snorkeling, diving hingga penanaman terumbu karang,  tak lepas dari keterlibatan mereka. Hal sama, dilakukan Agung Prana dengan terus berjuang melakukan pendekatan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti juga dilakukan di daerah lainnya di Subak Uma Abian, Desa Belayu.

Merubah pikiran masyarakat agar bisa mempertahankan lahan yang dimiliki dan membangun harapan baru, Keberadaan subak misalnya,  yang telah mendapat pengakuan dari badan dunia UNESCO sebagai warisan budaya yang mesti dilestarikan, harus tetap dipertahankan.

“Yang kita lakukan adalah merevitalisasi subak yang telah diapresiasi dunia itu menjadi destinasi yang  menarik,” katanya saat jumpa pers Indonesia Poverty & Empowerment Conference 2014 ( IPEC) 2014 di Puri Tamansari, Tabanan, Jumat (15/11/14).

Selain itu, upaya untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan dengan mengedukasi masyarakat, tentang pentingnya menjaga lahan pertanian atau subak mereka dari kepentingan komersial atau kapital. Hal itu diakuinya tidak mudah, sebab, lahan-lahan pertanian yang masih subur menjadi incaran calo-calo tanah, yang mengimingi warga dengan harga selangit.

Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Berkat kerja kerasnya itu, Agung Prana bahkan telah dianugerahi sebagai “Social Enterpreunership” dan diminta berbicara di forum-forum internasional.

Dia banyak bicara  tentang pentingnya menjaga kearifan lokal dan pelibatan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan atau suistainabel development. Menurutnya, predikat social enterpreuership bisa dicapai , dengan pendekatan hati dan menjaga sesuatu yang otentik di masyarakat. Harus ada soluasi yang dihasilkan dalam mengatasi kendala yang ada.

“Saya punya keyakinan bahwa kehancuran pariwisata itu bisa dicegah mengembangkan kearifan lokal dan memberdayakan masyarakat, kita harus dorong kesadaran dan partisipaasi rakyat, karena itu kunci keberhasilan pembangunan pariwisata kita,” tandasnya.

Turut hadir Dewi Hutabarat selaku Direktur Eksekutif Sinergi Indonesia. Selain pendekatan budaya atau kemasyarakatan yang bersandar pada semangat gotong royong, tak kalah pentingnya adalah pendekatan ekonomi. Bagaimana, pariwisata itu memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat.

Dengan pelestarian lingkungan maka pembangunan pariwisata akan dilaksanakan secara berkelanjutan. Itu sejalan dengan visi dan program yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo saat ini untuk mensejahterakan masyarakat. (rma)

Berita Lainnya

Terkini