DEMAK –
Eny Andayani (43), istri Serda Sutopo anggota koramil 02 Bonang Kodim
0716 Demak Jawa tengah memiliki kegigihan dan kesabaran yang patut
dicontoh dalam nya mendampingi suami, putra dan putrinya agar tumbuh
sehat dan mendapatkan pendidikan layak.
Menjadi ibu dari anak
dengan kebutuhan khusus tidaklah mudah. Orang-orang berjiwa besar lah
yang akan terus berjuang agar anak-anak mereka tumbuh menjadi anak-anak
layaknya anak-anak normal lainnya, meraih kesuksesan dan hidup mandiri.
Kebahagiaan
sang anak merupakan kebahagiaan untuk seorang ibu. Karenanya, dengan
segala cara ia akan melakukan dan memberikan semua yang terbaik untuk
anak-anaknya.
Selain merawat, mendidik, dan memenuhi semua
kebutuhan anaknya, seorang ibu pun rela banting tulang demi memenuhi apa
yang anaknya inginkan.
Demi masa depan anak-anaknya yang cerah,
ia akan melakukan apapun termasuk melakukan pekerjaan yang semestinya
tidak ia lakukan.
Eny, perempuan tinggal di Asrama Militer Kodim
Demak diberikan keturunan memiliki dua buah hati satu perempuan
Aprillia Bella Setyani (18) dan Dony Rizki Kurniawan (15).
Keluarga
ini diberikan ujian karena anak laki laki mengalami gangguan
keterbelakangan mental (tunagrahita). Ia tak pernah bermimpi dirinya
bisa seketika ”terpental” begitu saja dari kehidupan normalnya.
Masih banyak orang yang memandang dan melirik aneh bila bertemu seorang anak tunagrahita.
Pikiran
dan bayangan aneh seolah tertumpu pada mereka (seorang anak grahita).
Alih-alih bukan rasa simpatik dan rasa peduli yang menyapa, malah
sebaliknya justru ejekan, cemooh, bahkah hinaan diarahkan pada mereka
(seorang anak tunagrahita), dari mulut orang-orang yang mengaku dirinya
“manusia normal”.
Eny lantas tersenyum sambil memeluk erat
Dony,anak usia lima belas tahun yang hidup dengan sindrom Attention
Deficit Hyperactivty Disorder (ADHD).
Salah satu spektrum dalam
Tunagrahita atau gangguan perkembangan dalam peningakatan aktivitas
motorik anak hingga menyebabkan aktivitas anak yang tidak lazim dan
cenderung berlebihan.
Perjuangan Eny bersama Serda Sutopo sudah
dimulai sejak delapan belas tahun lalu. Eny nyaris kehilangan nyawanya,
akibat pendarahan hebat saat melahirkan Dony, yang baru berusia tujuh
bulan dalam kandungan.
Untuk semuanya itu dalam mencukupi
kebutuhan sehari hari maupun kebutuhan khusus Dony,anggota persit
Kartika Candra Kirana Ranting 03 Bonang ini harus banting tulang untuk
membantu mencari kebutuhan karena dari mengandalkan
gaji saja tidak mencukupi kebutuhan Dony yang mengalami gangguan
tersebut.
Sejak Dony lahir dan mengalami keterbelakangan mental,
Eny harus membantu suaminya menjadi perempuan tangguh yang harus
berjuang membesarkan kedua anaknya.
Pekerjaan apapun dilakukan,
bahkan jualan es dan tahu pedas pun ia lakukan walaupun dengan
keuntungan tak seberapa agar kebutuhan keluarganya tetap bisa
mencukupi.
Bermodal keberanian, dia nekat berjualan apa saja
yang penting ada peluang dan kesempatan asalkan halal dia lakukan. Dia
cukup gigih dalam mencari nafkah terlihat dari berjualan apa saja baik
jual perabot rumah tangga ,mebel,kreditan dan masih banyak lagi yang ia
bisniskan dalam mencari keuntungan tersebut.
Tiap pagi di bantu
suaminya di membuat tahu pedas untuk di jajakan dari warung
langganannya, tak kurang dari 50 paket tahu pedas matang dijualnya sejak
pukul 05.00. Satu bungkus hanya dihargainya Rp 3.000.
Namun,
kalau sampai pukul 11.00 dagangannya tak habis, Eny mulai berkeliling ke
warung yang satu ke warung lain berharap ada yang mau membeli tahu
pedas matang masakannya.
“Kalau enggak habis juga, baru dibawa pulang. Yang penting, usaha dulu,” tutur Eny.
Penghasilan
dari usaha ini cukup lumayan, dia bisa mendapat Rp150 ribu/hari. Uang
itu digunakannya kembali untuk modal jualan keesokan harinya dan sisanya
untuk biaya
Untuk pengobatan Dony yang saat ini masih terapi
yang mengeluarkan biaya cukup lumayan untuk setiap minggunya. Eny
mengaku usaha ini dilakoninya sejak 2002 silam.
Dia semakin giat
menjalani usahanya ini terlebih sejak Dony lahir dan mengalami gangguan
tunagrahita tahun lalu dan sang suami tidak punya biaya lagi untuk
mencukupi kebutuhannya itu.
Statusnya sebagai anggota persit memaksa
Eny tidak hanya berpangku tangan sebagai ibu rumah tangga. Sejak saat
itu, dia harus banting tulang membantu suaminya membesarkan dan
menyekolahkan anak-anaknya.
“Saya tidak boleh menyerah. Saya dan
suami harus kerja menghidupi keluarga. Bagaimana saya bisa
menyekolahkan anak sampai tamat kalau tidak bekerja,” ujar ibu dua orang
anak itu.
Kerasnya hidup tak pernah membuatnya menyerah.
Apalagi, baru-baru ini dia mendapat musibah kemalingan, beberapa barang
berharganya hilang. “Mau diapain lagi, toh barangnya sudah dicuri. Saya
mah pasrah dan ikhlas saja,” kata tegar.
Eny mengaku akan terus
berjualan demi hidupnya dan anak-anaknya. Eny ingin anak-anaknya bisa
sekolah agar masa depan anak-anaknya bisa lebih baik.
“Selagi
saya masih kuat, ya saya masih akan terus berjualan. Kalau enggak
ngandalin diri sendiri, kepada siapa saya mau bergantung. Saya enggak
mau ngerepotin anak-anak,” ujar dia.
Cacian dan makian tak
membuat beliau menyerah mencari nafkah,meskipun dia tau kadang ada
keputusasaan dalam sorot matanya, ada tangis dalam malam-malam
panjangnya.
Apalagi saat Dony mulai masuk sekolah luar biasa
(SLB) dan kakaknya yang sudah memasuki masa kuliah, semakin beratlah
beban di pundaknya. Tetapi itu tidak lantas membuatnya menghentikan
langkahnya untuk maju. (des)