Kabarnusa.com – Keluarga almarhum Hamonangan Ritonga mantan pejabat di Pelindo III menyesalkan sikap Badan Usaha Milik Negara BUMN itu yang tak kunjung membayarkan uang purnabakti atau pesangon sejak pensiun.
Ritonga yang pernah menduduki jabatan setingkat kepala cabang, di Pelindo III Benoa, Denpasar, telah pensiun sejak tahun 2001.
Namun, sebelum memasuki pensiuan hingga dirinya pensiun, tidak pernah diberitahu soal uang purnabakti.
Padahal, mengacu Keputusan Direksi/Kepala Cabang (Kep.66/KP/1/04/P.III/98 tanggal 28 Desember 1998 tentang pemberian penghargaan purnabakti PT Persero Pelabuhan Indonesia. mestinya uang purnabakti itu, sudah dibayarkan pada saat pegawai memasuki tahap pensiun.
“Kenyataanya, sejak 2001 sampai saat ini tahun 2016, uang purnabakti itu tidak pernah dibayarkan kepada almarhum atau keluarga,” kata kuasa hukum keluarga Ritonga, M Harahap saat jumpa pers di Denpasar Kamis 17 Maret 2016.
Pihak keluarga, sudah berulangkali, setiap tahun menanyakan hal itu bahkan sampai ke Direksi Pelindo III di Surabaya, tidak pernah ditanggapi serius.
Dia melanjutkan, kekecewaan terhadap perusahaan plat merah itu, karena Pelindo tidak pernah memberitahukan, berapa sebenarnya uang purnabakti yang akan diterima almarhum, yang telah meninggal pada tahun 2013.
Keluarga Ritonga baru mengetahui, adanya uang purnabakti itu setelah kasusnya bergulir di ranah hukum.
“Saya baru tahu, setelah saya diajukan ke pengadilan oleh Pelindo III lewat surat rincian pembayaran uang penghargaan purnabakti sebesar Rp43,5 juta,”kata Delila Harahap, istri almarhum Hamonangan.
Anehnya, surat tersebut tanpa dibubuhi tanggal dan tahun diserahkan oleh Budi Sswanto pegawai PT Pelindo III Surabaya.
Diketahui, dalam gelar perkara di Polda Bali, diketahui bahwa Pelindo II kurang membyar Rp22,1 juta sebagai tunjangan prestasi selama 25 tahun lebih bekerja.
Setelah ditambahkan, maka ditambahkan totalnya menjadi Rp65 juta. Jumlah itu menurutnya, belum sesuai ketentuan, mengingat masih ada tunjangan-tunjangan lainnya yang menjadi haknya belum juga dibayarkan.
Pasalnya, dari jumlah itu tidak sesuai dengan golongan Almarhum saat menjabat di Pelindo III, yang dalam hitungannya berdasar tunjangan-tunjangan lainnya yang mesti didapat, dalam kisaran Rp85 sampai Rp100 juta.
Kini, dengan tidak adanya kejalasan nasib uang purnabakti itu, membuat keluarga Delila kian didera penderitaan. Janda asal Tanapuli Selatan Sumatra Utara itu, kini masih bertahan di rumah dinas di Jalan Pulau Ambon Denpasar.
Harapannya, setelah mendapatkan uang purnabakti akan dipergunakan untuk membeli rumah sebagai tempat tinggalnya mengisi hari tua bersama anaknya.
“Perlakuan Pelindo sangat merugikan kami, dengan tidak membayarkan uang purnabakti, padahal sebagai ahli waris uang itu akan kami manfaatkan utuk kebutuhan mendapatkan tempat tinggal,” imbuh Delila yang telah menetap di Bali sejak tahun 1983 itu. (rhm)