Kenakan Biaya TopUp E-Money, YLKI Sebut Peraturan BI Kontra-produktif

16 September 2017, 22:40 WIB
ilustrasi

JAKARTA – Langkah Bank Indonesia (BI) yang mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e-money menuai kritikan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, menjadi kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e-money.

Mestinya, demi efisiensi pelayanan dan bahkan keamanan dalam bertransaksi, upaya mewujudkan transaksi non cash adalah sebuah keniscayaan. Cashless society adalah sejalan dengan fenomena ekonomi digital.

“Secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut,” jelas Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam siaran pers diterima Kabarnusa.com, Sabtu (16/9/2017).

Dengan cashless society sektor perbankan lebih diuntungkan, daripada konsumen. Perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi/pembelian belum dilakukan konsumen. Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up.

Justru model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif. Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan.

“Selebihnya no way, harus ditolak, tidak pantas pula jika sektor perbankan dalam menggali pendapatan lebih mengandalkan uang recehan,” tukas Tulus.

Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top.

Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah. YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut. (des)

Berita Lainnya

Terkini