Kisah Tri: Loyalitas Sejati di Balik Abu PT Mataram Tunggal Garmen

Keteguhan hati seorang Tri (56), warga Murangan, selama hampir tiga dekade mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan PT Mataram Tunggal Garmen.

17 Juni 2025, 10:35 WIB

Yogyakarta – Asap masih membekas di benak banyak orang setelah kebakaran hebat melanda PT Mataram Tunggal Garmen pada 21 Mei 2025. Namun, di tengah puing-puing dan ketidakpastian, muncul kisah keteguhan hati seorang Tri (56), warga Murangan, yang selama hampir tiga dekade telah mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan garmen itu.

Keikhlasannya menerima kenyataan pahit pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi sorotan, mencerminkan ketabahan para pekerja yang kini berjuang di tengah masa transisi sulit.

Tri adalah salah satu dari ratusan karyawan yang harus menghadapi kenyataan pahir pasca-kebakaran. Dengan tenang, ia mengisahkan perjalanan panjangnya yang dimulai sejak 1996, baru saja menandatangani kontrak baru pada 2024.

“Sudah sekitar 29 tahun kerja, termasuk kontrak terakhir ini,” ujarnya tanpa nada penyesalan, hanya sebuah penerimaan yang mendalam.

Usia dan kondisi saat ini membuat Tri realistis. Ia menyadari bahwa mencari pekerjaan baru di perusahaan lain mungkin bukan lagi pilihan yang mudah.

“Mau lari-lari ke perusahaan lain, itu usianya udah enggak. Kalau dipanggil lagi ya insya Allah saya masih mau, tapi kalau disuruh daftar ke tempat lain, rasanya sudah enggak bisa,” tuturnya, menunjukkan kepasrahan namun juga semangat untuk terus berkarya.

Namun, semangat Tri tak padam. Ia telah merangkai rencana ke depan, kembali ke akarnya di bidang pertanian—derep dan tandur—serta mempertimbangkan membuka usaha kecil. “Kalau ada pesangon, ya mungkin saya belikan kambing atau buat usaha. Insya Allah ada jalan,” ucapnya optimis, seolah meyakini setiap kesulitan pasti membawa berkah.

Selama bertahun-tahun mengabdi di PT Mataram Tunggal Garmen, Tri telah merasakan asam garam berbagai tugas.

“Macam-macam, tergantung pimpinan. Kadang motong kain, pasang. Saya sudah lama di situ, jadi apa saja yang disuruh,” kenangnya, menggambarkan loyalitas tanpa batas yang ia tunjukkan.

Peristiwa PHK memang mengejutkan. “Kaget, wong saya ngerjain orderan cuma kurang dua pcs. Tahu-tahu pagi sudah kayak gitu. Pas buka WhatsApp, saya lihat pengumuman, terus tetap ke sana buat ngecek sendiri, ternyata sudah selesai,” ujarnya, mengingat momen pahit itu dengan jelas.

Meski demikian, Tri memilih untuk melihat sisi positif dari musibah ini.

“Kerja selamanya kan enggak di pabrik, pasti suatu saat keluar. Ini kesempatan saya untuk mendekatkan diri pada yang kuasa. Ada hikmahnya, enggak terus merana, jadi ya ikhlas,” tutur Tri, menyoroti kekuatan iman yang menjadi penopang hidupnya.

Di balik senyum dan keikhlasan Tri, tersimpan pula suka duka perjalanan kariernya. Ada kebanggaan memiliki tanggung jawab setiap bulan, namun juga beban karena harus berkejaran dengan waktu.

“Dukanya itu, misalnya masak harus cepat-cepat, jadi waktu buat keluarga kurang,” pungkas Tri, menutup kisahnya dengan gambaran perjuangan seorang pekerja yang tak hanya mengabdi pada perusahaan, tetapi juga berupaya memberikan yang terbaik untuk keluarga.

Kisah Tri adalah pengingat akan ketahanan manusia di hadapan badai kehidupan.***

Berita Lainnya

Terkini