![]() |
(ilustrasi/net) |
YOGYAKARTA – Sri Nurherwati dari Komnas Perempuan mengungkapkan anak-anak atau perempuan korban kekerasan seksual masih banyak yang sulit mengakses layanan medis, psikologis, bantuan hukum, rumah aman, pemberdayaan ekonomi, rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Hal itu disampaikan Nurherwati menyoroti rencana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan yang beranggotakan 115 lembaga pengada layanan dan tersebar di 33 provinsi di Indonesia menyelenggarakan diskusi pakar yang secara khusus membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bertajuk “Konsultasi Pakar tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, diskusi yang berlangsung di FH UGM, Rabu (19/10/2016) bertujuan memberi masukan secara substansi guna menyokong agar RUU yang diusulkan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan menjadi lebih sempurna.
Diskusi dihadiri 50 peserta terdiri dari akademisi, aparat penegak hukum dan pendamping korban.
Nurherwati mengungkapkan dukungan terhadap keberadaan RUU berdasar pada pandangan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan yang sangat serius serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
“Oleh karena itu, harus diatur secara komperhensif dalam sistem hukum Indonesia. Karena berbagai peristiwa kekerasan seksual terus menerus terjadi,” kata Nurherwati dikutip dalam laman ugm.ac.id.
Bahkan, berbagai bentuk kekerasan seksual semakin meluas menyerang setiap orang terutama kepada anak dan perempuan dalam segala usia. Berbagai peristiwa kekerasan seksual tidak hanya di tempat-tempat publik tetapi juga di rumah tangga.
Data Komnas Perempuan tahun 2012 menyebut kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat 181% dari tahun sebelumnya.
Sedangkan data Komnas Perempuan tahun 2013, 2014 dan 2015 menyebut dalam kurun waktu 3 tahun terakhir kasus kekerasan seksual yang dilaporkan rata-rata berjumlah 298.224 kasus setiap tahun.
Penderitaan fisik dan psikologis yang dialami korban dan keluarganya sangat berat.
“Dari pengalaman para korban, keluarga dan pendamping korban, ditemukan bahwa korban sangat sulit mengakses layanan medis, psikologis, bantuan hukum, rumah aman, pemberdayaan ekonomi, rehabilitasi dan reintegrasi sosial,” tuturnya.
Sebaliknya, mereka justru sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan stigma. Catatan Forum Pengada Layanan tahun 2015 mencatat berbagai diskriminasi dan stigma itu seperti dikeluarkan dari sekolah dan tempat kerja dan dikucilkan masyarakat hingga dikawinkan dengan pelaku. (des)