![]() |
Dalam pandangan Ketua LPM Universitas Muhammadiyah Ponorogo Bambang Widiahseno, dari kegiatan IPEC itu, termasuk melihat langsung bagaimana desa di Bali memberdayakan masyarakatnya, bisa diambil benang merah. |
KabarNusa.com –
Konsep pembangunan Bali yang disandarkan pada “Tri Hita Karana” yang
menjaga keseimbangan hubungan manusia, alam dan tuhan bisa menjadi
spirit bagi daerah lainnya.
Para peserta Konferensi Indonesia
Poverty and Empowerment Indonesia IPEC 2014 kembali mendiskusikan
tentang pemberdayaan masyarakat yang berbasis kearifan lokal dan konsep
pembangunan berkelanjutan.
Dalam pandangan Ketua LPM Universitas
Muhammadiyah Ponorogo Bambang Widiahseno, dari kegiatan IPEC itu,
termasuk melihat langsung bagaimana desa di Bali memberdayakan
masyarakatnya, bisa diambil benang merah.
“Benang merahnya, ada
nilai-nilai kesamaan tentang pentingnya menjaga hubungan antara
lingkungan dan masyarakat dan Tuhan sebagaimana konsep Tri Hita Karana,”
tandasnya.
Dia melihat model pengembangan pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemsikinan di Bali, cukup bagus.
Pengembangan
pariwisata misalnya, tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata
namun juga ada keinginan untuk berbagi bersama.
Kata dia, Agung
Prana telah memberikan pelajaran bagus, bagaimana model pemberdayaan
masyarakat tidak didasari pada keserakahan bisnis melainkan ada
nilai-nilai kearifan lokal yang senantiasa dipegang.
Dengan
membangun hubungan saling menguntungkan atau memberi manfaat satu sama
lainnya baik masyarakat dengan lingkungan alamannya, maka akan
memberikan jaminan pula bagi keberlangsungan atau keberlanjutan
pembangunan.
“Kita butuh udara yang diberikan alam, tetapi alam
juga butuh lestari, harus dijaga dengan baik jadi jika ada keseimbangan
itulah akan tercipta keberlangsungan,” sambung alumni UGM itu.
Dalam
konteks menjaga nilai-nilai kearifan lokal itulah, peran tokoh atau
pemimpin lokal di masyarakat sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan
atau pengembangan desa atau wilayah. (rma)