Jepara – Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram.
Hukum haram diberlakukan bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimiliki.
Hal itu merupakan pandangan dan sikap keagamaan Perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Perhelatan KUPI II digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara.
Dr. Fatum Abu Bakar dari PP. Al Khoirot Ternate, salah satu representasi peserta yang membacakan pandangan KUPI.
Setelah melalui berbagai kegiatan dan forum, pada hari ketiga ini terdapat pembacaan pandangan dan sikap keagamaan, serta rekomendasi KUPI II.
Selain itu, pembacaan Ikrar Bangsri Jepara dan pembacaan Deklarasi Jaringan KUPI Muda.
Dokumen meliputi beberapa tema, yaitu peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama, isu perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
Kemudian, isu perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, dan isu perlindungan jiwa perempuan dari bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis.
Namun ketika terjadi peminggiran perempuan yang berdampak sebaliknya, hukumnya adalah haram.
“Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya,” ujar Dr. Fathum.
Representasi peserta lain, Mohammad Khatibul Umam dari PP. An-Nuqayah Guluk Guluk Sumenep Madura, menyampaikan semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Terutama pemerintah wajib membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan memberikan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
“Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah adalah haram bagi pelakunya langsung dan makruh tahrim (mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang,” ujar Khatibul Umam.
Nyai Nurul Mahmudah dari Jombang mengungkapkan sikap keagamaan KUPI melihat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
“Dengan demikian, pemerintah harus membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan, dan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib,” tutur Nyai Nurul.
Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin Prof. Hj. Masyitah Umar, menyebutkan hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya.
Baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan atau psikiatris.
Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.
“Pelaku juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk bagi korban,” ungkap Prof. Masyitah.
Terakhir, Wakil Ketua STAI Teuku Chik Pante Kulu Banda Aceh, Dr. Sarina Aini mengatakan bahwa hukum melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah haram.
Semua pihak harus bertanggungjawab untuk mencegah P2GP tanpa alasan medis.
“Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib,” ujarnya.
Setelah pembacaan pandangan dan sikap keagamaan KUPI II yang disampaikan beberapa representasi peserta, selanjutnya rekomendasi KUPI II dibacakan langsung oleh Roziqoh Sukardi, Manajer Program Fahmina Institute.
Dalam pembacaannya, Ketua Fatayat Kabupaten Cirebon tersebut menyampaikan beberapa poin dalam dokumen rekomendasi.
Roziqoh menyampaikan eksistensi ulama perempuan telah diterima di kalangan masyarakat, pesantren, perguruan tinggi, pemerintahan, media, dan kalangan dunia internasional.
Maka dari itu negara dan masyarakat sipil perlu menjadikan KUPI menjadi mitra kerja strategis dalam banyak hal.
“Negara harus menjadikan KUPI sebagai mitra kerja strategis dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan isu-isu strategis bangsa, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa atau kelurahan,” ungkapnya.
Pihaknya menambahkan bahwa negara harus mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
“Negara harus mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan mengimplementasikannya dengan konsisten,” ungkap Roziqoh.
KUPI juga menyerukan solidaritas bagi masyarakat muslim, khususnya kelompok perempuan di berbagai negara yang mengalami opresi kemanusiaan, terutama di Afghanistan, Iran, Myanmar, Turki, dan Cina (Uyghur).
“KUPI menuntut pemerintah di negara-negara tersebut untuk menghentikan tindakan opresi dan menjamin kemaslahatan warganya dengan spirit Islam rahmatan lil ‘alamin yang meletakkan penghormatan pada hak-hak perempuan,” ujarnya.
Selain itu, KUPI juga memberikan rekomendasi terkait permasalahan sampah dan keberlangsungan lingkungan hidup, ekstremisme beragama, praktik pemaksaan perkawinan, hingga mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di berbagai komunitas lokal dunia.
Selanjutnya, hasil rekomendasi KUPI II diserahkan kepada perwakilan pejabat berwenang yang hadir, di antaranya adalah Prof. Dr. H. Abu Rohmad Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Agama RI dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Anggota Parlemen RI.