Latah Seruan dan Aksi Melawan Hoax

2 Mei 2018, 05:30 WIB
ilustrasi%2Bgadget
ilustrasi

SERUAN untuk melawan hoax muncul dimana-mana, baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun oleh kelompok profesi, termasuk juga oleh jurnalis. Aksi bersama dalam gerakan melawan hoax juga disuarakan oleh berbagai kelompok dan komunitas. Hingga seruan dan aksi melawan hoax terkesan aksi yang latah dan sekedar ikut-ikutan. Terkesan latah karena setelah aksi dan komitmen melawan hoax nyatanya kembali menyebar hoax, baik sengaja atau tidak sengaja.

Hoax sangat cepat tersebar dan menjadi viral karena kebiasaan kita sebagai pengguna yang terlalu sering malas untuk melakukan verifikasi. Hoax selalu hadir dengan judul yang bombastis dan mengkait-kaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya sehingga terkesan benar dan ada kaitannya. Hoax seakan menjadi momok dalam musim pilkada, apalagi jika hoax yang disebar berkaitan dengan politik identitas.

Latah hoax sepertinya telah mendarah daging, hingga menyebut berita sebagai berita hoax. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena berita sebagai sebuah karya jurnalistik juga dapat diklaim sebagai hoax. Tentu ini sama artinya dengan merendahkan sebuah karya jurnalistik. Hoax selama ini didefinisikan sebagai kabar atau informasi bohong, jika kemudian disebut berita hoax maka artinya berita kabar bohong.

Apabila kembali pada definisi hoax sebagai kabar/informasi bohong maka wajar informasi besar kemungkinan bohong karena belum melalui sebuah proses verifikasi atau pengecekan lapangan. Begitu juga jika dikembalikan pada definisi informasi yang merupakan data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya, sehingga karena belum dikonfirmasi kebenarannya wajar jika informasi tersebut menjadi informasi bohong atau hoax.

Sedangkan berita sebagai sebuah data atau pesan yang sudah dikonfirmasi kebenarannya, kemudian diolah menjadi karya jurnalistik yang dipublikasikan pada media sangat tidak wajar disebut sebagai sebuah hoax. Jika kemudian berita tersebut dalam beberapa hal tidak sesuai dengan data di lapangan maka akan lebih sesuai kalau disebut sebagai fake news atau berita plintiran.

Terdapat beberapa kemungkinan sebuah berita menjadi fake news, salah satunya karena kurangnya cek dan ricek, baik data ataupun fakta. Kemungkinan berikutnya adalah adanya kesengajaan akibat terdapat kepentingan kelompok atau pemilik media.

Jika hal ini terjadi maka artinya redaksi media tersebut berada dalam kendali kelompok atau pemilik media untuk sebuah kepentingan. Kemungkinan lainnya yaitu adanya oknum tertentu yang menyalahgunakan pemberitaan suatu media dengan teknik dan cara tertentu melakukan rekayasa sehingga berita yang muncul tidak sesuai dengan yang aslinya.

*I Nengah Muliarta, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bali

Artikel Lainnya

Terkini