Layak Pimpin MUI, KH MIftachul Akhyar dan Din Syamsuddin Menguat di Bali

23 September 2020, 23:27 WIB
IMG 20200924 082649
Dialog Online digelar mengusung tema Mencari Sosok Kreteria Ideal Calon
Ketua Umum MUI Pusat untuk Kemaslahatan Umat, menghadirkan beberapa
narasumber, Rabu (23/9/2020)

Denpasar – Nama KH Miftachul Akhyar dan KH Muhammad Sirajuddin
Syamsudin atau Din Syamsuddin semakin santer disebut di sejumlah daerah
termasuk di Bali karena ketokohannya dinilai cukup layak memimpin Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menggantikan KH Ma’ruf Amin yang kini menjadi Wakil
Presiden RI.

Nama kedua tokoh Islam cukup berpengaruh itu, muncul dalam video conference
digelar Majelis Daerah (MD) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
Badung yang diikuti beberapa kalangan seperti mahasiswa, organisasi
kemasyarakatan, tokoh agama dan masyarakat lainnya.

Dialog Online digelar mengusung tema Mencari Sosok Kreteria Ideal Calon Ketua
Umum MUI Pusat untuk Kemaslahatan Umat, menghadirkan beberapa narasumber, Rabu
(23/9/2020).

Narasumber memberikan pandangannya Rais Syuriah PWNU Bali KH Nur Hadi, Ketua
MUI Kota Denpasar KH Saefudin Zaeni, Korwil Pergunu Bali yang juga Ketua MD
KAHMI Buleleng H Lewa Karma.

Keberadaan organisasi Majalies Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga
independen tempat bernaung para ilmuwan, cendekiawan tokoh dari berbagai
organisasi Islam Tanah Air diharapkan bisa tertap mengayomi umat memberikan
keteladanan dan mengedepankan politik kebangsaan.

Demikian beberapa pemikiran yang menguat dalam webiner yang digelar Majelis
Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badung yang diikuti
beberapa kalangan seperti mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, tokoh agama
dan masyarakat lainnya.

Dalam paparannya, KH Saefudin Zaeni mengatakan, MUI memiliki peranan penting
bagi umat Islam sehingga mereka yang memimpin organisasi ini, harus memiliki
bekal keilmuan yang mumpuni. Tidak hanya sekedar pandai, pintar namun juga
harus memiliki guru atau sanad yang jelas runutannya.

“Figur keiimuannya harus punya sanad jelas, dengan siapa berguru jika dirunut
sampai ke Nabi Muhammad SAW,” ungkap pria asal Magelang Jawa Tengah ini.

IMG 20200924 001850

Karena itu, menurutnya, belum cukup dikatakan pandai hanya dengan membaca
buku-buku, namun harus jelas sanad kelimuannya.

Zaeni juga tidak menampik jika nantinya pengurus MUI tidak bisa meninggalkan
syahwat politiknya namun diingatkan, bahwa politik yang dikembangkan adalah
politik keumatan politik kebangsaan.

“Jadi bukan politik yang mementingkan perorangan atau hanya berorientasi
kekuasaan,” kata Zaeni yang sebelumnya mengadikan diri di Kemenag Bali.

Dia juga mengakui nama KH Akhyar dan Din Syamsuddin cukup kuat sebagai calon
yang layak diusung pada Munas MUI mendatang, untuk memimpin periode lima tahun
ke depan.

Untuk itu, diharapkan, sosok Ketua Umum MUI nanti, sebagai figur yang bisa
memberi kesejukan umat. Bukan figur kontroversial, yang cenderung selalu
membuat suasana tidak nyaman di masyarakat.

Hal sama disampaikan KH Nur Hadi dari Tabanan, yang secara lugas
terang-terangan lebih condong kepada KH Akhyar yang dinilai memiliki keilmuan
keislaman cukup mantap, rendah hati menyejukkan dan lama berjuang di MUI.

“Ketika ada dua figur yang sama-sama kuat, maka saat harus memilih, ya saya
pribadi memilih KH Achyar, beliau memiliki wawasan luas dan bijaksana, ilmu
pengetahuan agamanya lurus, Insya Allah, aman,” sambungnya.

Sementara tokoh muda NU, Lewa Karma menambahkan, dua figur itu, sama-sama
memiliki basis keilmuan cukup kuat. Hanya saja, siapa nantinya akan terpilih
menahkodai MUI, dipersilakan ke peserta pemilik hak suara di Munas.

“Sosok Din Syamsuddin cukup mempuni, demikian juga KH Akhyar sebagai Rois
Syuriah PBNU, dua tokoh yang mewakili dua ormas terbesar yakni NU dan
Muhammadiyah,” kata Lewa.

Jika harus memilih, maka dua nama itu sebagai pilihan yang sama-sama bagus,
tinggal semua tergantung kepada para pemegang suara di Munas.

Pada sesi tanya jawab, Dhuha F Mubarrok memawakili Majelis Wilayah KAHMI Bali
mengingatkan kembali selain pentingnya figur yang akan memimpin, juga harus
diingat bahwa keberadaan MUI posisinya harus tetap berada di tengah atau
indepenen.

Jadi, MUI bisa menjadi penghubung, jembatan kepentingan umat dan representasi
ulama yang bisa melakukan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah jika dalam
perjalanannya tidak lurus.

“Dahulu semasa Ketua Umum MUI pertama KH Buya Hamka, bahkan sampai memilih
mundur sebagai wujud independensinya ketika melihat ada hal yang tidak benar, terhadap
jalannya pemerintahan,” imbuhnya. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini