LBH Ansor Jateng Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

10 Januari 2019, 16:13 WIB
Direktur LBH Ansor Jateng Denny Septiviant/istimewa

SEMARANG – Masih tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Indonesia semestinya menjadi momentum bagi DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Direktur LBH Ansor Jateng Denny Septiviant mengatakan kasus penangkapan terhadap “Kanjeng Sultan” HSN atau Kyai Syawal di Desa Tepakyang Adimulyo Kebumen dalam dugaan kasus kekerasan seksual, mestinya menjadi momentum penting, guna membuka kesadaran semua pihak.

“Kasus ini, harusnya menjadi momentum kembali semua pihak mendorong segera disahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh pemerintah dan DPR RI,” tegas Denny dalam siaran pers diterima Kabarnusa, Kamis (10/1/2019).

Penyelesaian kasus kekerasan seksual, tidak cukup dengan menyatakan keprihatinan kepada korban, melainkan harus ada satu langkah nyata dan segera untuk memberikan perlindungan hukum bagi para korban.

“Kami memandang, salah satu penyebab lambatnya pengesahan RUU PKS adalah isu kekerasan seksual lebih banyak dilihat dari kerangka agama dan moralitas,” sambungnya.

Ada kekhawatiran-kekhawatiran yang kemudian dimunculkan, padahal tidak termuat di dalam RUU tersebut. Pihaknya menilai kekhawatiran anggota DPR yang dibangun sendiri digunakan untuk tidak segera membahas RUU PKS ini.

Misalnya, RUU ini dianggap akan merusak perkawinan, bahkan mengatur sampai di ranah kekerasan dalam perkawinan, katanya. Padahal, RUU PKS tidak mengatur hal itu lantaran sudah ada dalam UU Penghapusan KDRT. Dengan demikian, RUU PKS hanya mengatur hal-hal yang belum ada di undang-undang lainnya.

“RUU PKS dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual untuk bisa mendapatkan hak-haknya,” tandasnya. Kekhawatiran sebagian anggota DPR-lah justru membuat proses pengesahan berjalan amat lamban.

Harusnya DPR bisa membuka ruang yang lebih luas untuk mendiskusikan RUU ini di internal mereka sehingga tidak perlu memperlihatkan kekhawatiran kepada masyarakat. “Jadi jangan membangun ketakutan terus tapi tidak berusaha membicarakannya dengan badan legislatif yang sudah melalui proses pembahasan,” tegasnya lagi.

Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan kekerasan terhadap perempuan terus naik setiap tahun. Pada 2017 tercatat sebanyak 348.446 kasus, melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya sejumlah 259.150 kasus.

Data Pemprov Jawa Tengah lanjutnya, juga menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak saat ini sudah termasuk darurat. Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Tengah mengungkap tingkat kekerasan terhadap anak tahun ini masih tinggi.

Bahkan pada periode Januari 2018 sampai pertengahan Juli, mayoritas kasus pelecehan seksual masih sering terjadi. “Pada 2017 telah mencapai 1.337 kasus, pada tahun 2018 hingga Juli terdapat 424 kasus,” sambungnya.

Melihat kondisi itu, kata dia, Jateng termasuk masih dalam fase darurat kekerasan seksual.Sehingga, harus ada crash program dari pihak Pemprov Jateng mengatasi persoalan ini, LBH ansor Jawa Tengah mendukung setiap upaya pemerintah mengurangi angka kekerasan seksual ini. (des)

Berita Lainnya

Terkini