LPSK: Perlindungan Korban untuk Kewibawaan Hukum

27 April 2017, 21:40 WIB

AH%2BSemendawai%2Bkabarnusa

KUPANG – Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan banyaknya hambatan terhadap pemenuhan hak-hak hendaknya tidak dianggap sebagai halangan dalam menjalankan upaya pemenuhan hak-hak korban, melainkan dianggap sebagai tantangan untuk menunjukkan kewibawaan hukum.

Dengan tetap dipenuhinya hak-hak korban, maka kewibawaan hukum tetap terjaga.

“Karena perlindungan kepada hak korban itu sudah diatur oleh undang-undang baik UU Perlindungan Saksi dan Korban maupun UU lain seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang hingga UU Terorisme”, ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai dalam Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Kupang (27/4/17).

Dalam Simposium dan Pelatihan tersebut Semendawai menyampaikan materi terkait Penanganan dan Advokasi Korban Kejahatan Seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Ia menjelaskan, sebenarnya perhatian kepada korban sudah mulai ada. Hal ini dilihat dari disebutnya hak-hak korban maupun perlindungan kepada korban dalam aturan perundangan-undangan di Indonesia.

Seperti diaturnya hak kompensasi bagi korban Terorisme, hak restitusi (ganti rugi oleh pelaku) pada UU TPPO, hingga perlindungan kepada korban KDRT. Hal ini diperkuat dengan disahkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun 2006.

“Aturan-aturan tersebut penting mengingat dampak-dampak tindak pidana yang dialami korban sangat beragam. Maka perlu upaya untuk memulihkan kondisi korban,” sambungnya.

Dijelaskan Semendawai, dampak-dampak korban, khususnya kejahatan seksual dan TPPO, sangat beragam mulai dari fisik, psikologis, hingga sosial. Untuk penanganan tersebut perlu adanya peran serta banyak pihak.

“Misalnya pemenuhan hak psikososial di mana selama ini LPSK sering bekerjasama dengan Dinas-dinas seperti Dinsos, Dinkes, hingga Dinas Tenaga Kerja”, ungkap Semendawai mencontohkan. Dalam pemenuhan hak-hak korban tersebut tidak dipungkiri banyak sekali gangguan baik yang bersifat teknis maupun gangguan berupa ancaman fisik.

Meski begitu upaya pemenuhan hak-hak korban tidak boleh kalah oleh gangguan-gangguan seperti itu. Dalam kasus Sampang dan beberapa kasus lain terlindung LPSK sempat dikepung banyak orang. Namun tetap ada cara untuk mengatasinya, seperti berkordinasi dengan pihak kepolisian.

“Jika kami menyerah sedangkan aturan sudah menjamin perlindungan hak korban, maka itu sama saja hukum kalah oleh ancaman-ancaman orang yang tidak ingin hukum ditegakkan”, ujar Semendawai. Simposium dan Pelatihan Hukum ini sendiri diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) di Kupang, 25-27 April 2017.

Penyampaian materi terkait Perlindungan Saksi dan Korban pada kegiatan ini sendiri dinilai merupakan momentum yang cukup tepat karena dihadiri oleh akademisi dan peneliti terkait Hukum Pidana dan Kriminologi.

“Dengan disampaikannya materi terkait Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan para akademisi dan ilmuwan ini bisa meneliti lebih dalam dan menyampaikan pemahaman terkait hal tersebut kepada masyarakat lebih luas”, tutupnya.rhm)

Artikel Lainnya

Terkini