Mahasiswa dan Dosen Sulit Terhindar Hubungan Transaksional

10 Februari 2016, 04:30 WIB
kampus UGM {foto:humas ugm)

Kabarnusa.com – Pendidikan teknokrat yang ada saat ini menuntut mahasiswa lebih cepat dan efisien dalam berproses. Akibatnya, hubungan yang terjalin antara mahasiswa dan lembaga pendidikan tidak lebih dari hubungan transaksional.

Demikian disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Faruk HT dalam diskusi bertajuk Menggunjingkan Kembali Cintaku Di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman, di UGM, Selasa (9/2/2016).

Menurut Faruk, sistem pendidikan yang diterapkan oleh hampir semua universitas di Indonesia, menyebabkan perubahan pada proses mahasiswa dalam menuntut ilmu.

“Saat ini sudah tidak ada lagi hubungan yang mesra antara mahasiswa dan dosen di lingkungan kampus. Sistem telah membuat mahasiswa dan dosen menjadi bagian dari badan usaha yang dijalankan oleh universitas,” katanya dikutip kabarkota.com

Hal Itu dapat dilihat, adanya target lulusan dalam rentang waktu tertentu, yang saat ini diterapkan oleh universitas. Kondisi itu memang dipengaruhi oleh perubahan zaman.

“Teknologi yang semula ditujukan agar lebih efisiensi, kini menghadirkan konsekuensi. Sebuah masalah yang ruwet,” ujarnya.

Hal yang hilang dalam proses menuntut ilmu saat ini adalah kemampuan mahasiswa untuk memahami proses dalam segala aktivitasnya.

Berperilaku serba yang cepat telah membuat mahasiswa gagal dalam memperoleh nilai-nilai dari keilmuan yang lintas disiplin.

Dia membandingkan, dahulu, kemampuan mahasiswa untuk bersosialisasi tidak masuk dalam kurikulum. Sekarang semuanya sudah dikurikulumkan.

“Bagaimana mahasiswa bersosialisasi, berwirausaha, berdiri dan berbicara di depan,” anggapnya.

Meski demikian, kesadaran universitas terhadap konsekuensi sistem yang dipilihnya menjadi hal yang penting.

Kata Faruk, seharusnya  jangan kaget kalau sekarang ada cinta satu malam. Itu adalah bagian integral dari pola efisiensi yang ada di kampus.

“Namun, terkadang kampus menuntut lebih dari sistem yang ada sekarang. Minta kualitas bagus dengan waktu yang pendek,” sebutnya.

Peneliti Kunci Cultural Studies Syafiatudina menambahkan, cerita dalam novel Cintaku Di Kampus Biru masih sangat relevan dengan situasi saat ini. Kendati sudah lebih dari 30 tahun, karya Ashadi Siregar itu menunjukan kondisi mahasiswa yang ada saat ini.

Dina melihat, kampus menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang bimbang tentang masa depannya. Sementara, efisiensi yang diterapkannya universitas menambah kerisauan mahasiswa, sehingga kehilangan orientasi.

“Serba cepat yang diinginkan oleh kampus memang telah membuat segalanya hanya transaksional. mahasiswa bahkan tidak diberi ruang untuk mempelajari sesuatu secara lintas disiplin ilmu,” kata alumnus UGM 2010 itu. (ari)

Berita Lainnya

Terkini