Mayoritas Anak Korban Kejahatan Seksual dari Keluarga Menengah Bawah

17 Juli 2016, 06:06 WIB

Kabarnusa.com
Korban tindak kejahatan seksual yang menimpa anak di bawah umur
mayoritas berasal dari keluarga kalangan menengah hingga bawah.

Karenanya,
masyarakat diminta mewaspadai aksi gerombolan pemerkosa atau pelaku
kejahatan seksual terhadap anak yang sering berkeliaran di tengah
kehidupan warga.

“Saat ini hampir tidak ada ruang yang aman dan
nyaman bagi anak-anak untuk bermain,” kata Ketua Umum Komisi Nasional
Perlindungan Anak (KNPA) Arist Merdeka Sirait dalam seminar sehari
bertemakan “Stop Kekerasan seksual pada Anak” di Hotel Nikki, Denpasar,
Sabtu 16 Juli 2016.

Menurut penerima penghargaan dari Yayasan
Elham untuk kategori “Pejuang Hak Asasi Manusia” (2008) itu, para
predator kekerasan terhadap anak umumnya berada di empat lingkungan.

Pertama
lingkungan rumah (ayah tiri/ayah kandung, kakak, paman, tukang kebun,
sopir jemputan mobil/ojek, dan kerabat dekat keluarga).

Di
lingkungan sekolah yang perlu diwaspadai adalah guru reguler, guru
spiritual, penjaga sekolah, keamanan sekolah, tukang kebun, dan
pengelola sekolah.

“Juga predator kekerasan terhadap anak yang
biasa berkeliaran di lingkungan sosial/ruang publik, seperti di tempat
bermain anak,” imbuhnya.

Demikian juga, predator bisa berasal
dari tetangga, pedagang keliling, dan teman sebaya. Serta predator yang
sengaja “beroperasi” di lingkungan panti/boarding school, seperti
pengelola panti, pengasuh, dan sesama anak asuhan panti.

Di
hadapan 1.100 peserta yang mayoritas kalangan perawat perwakilan dari
sejumlah rumah sakit di Bali, Arist menjelaskan, data yang dihimpunnya
selama 2015, terdapat 6.725 kasus (51 % kejahatan seks).

Ada 237 kasus, pelakunya adalah anak dibawah umur 14 tahun.

Sementara, 82 % korbannya berasal dari keluarga menengah ke bawah.

Pria
kelahiran Pematang Siantar, 17 Agustus 1960, mengimbau orangtua untuk
mewaspadai sepak terjang predator, jika situasi memungkinkan suka
melakukan kekerasan terhadap anak.

Anak adalah seseorang yang
berusia di bawah 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan (CRC dan
UU Nomor: 23/Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

“Adapun hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara,” tegas Arist yang juga penerima penghargaan
“Soegeng Soeriadi Syndicate on Good Governance” untuk kategori “Gerakan
Masyarakat Sipil” (2009).

Menurutnya, ada 7 alasan mengapa anak
perlu dilindungi dari kekerasan, antara lain karena anak adalah titipan
dan anugerah Tuhan, mempunyai hak hidup, dambaan keluarga, dan merupakan
generasi penerus bangsa. Selain itu, anak juga rentan terhadap segala
bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi, dan penelantaran.

“Anak
juga sebagai sosok yang lemah dan merupakan kelompok paling rentan
dalam situasi apapun dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Serta anak
sebagai individu yang tidak mampu membela dan melindungi dirinya
sendiri,” jelas penerima penghargaan dari “Seputar Indonesia” untuk
kategori “Pejuang Publik” (2013),

Dia menegaskan, Komnas
Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam
status darurat kejahatan seksual terhadap anak.

Seminar diselenggarakan Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI) dan dibuka Ketua IPANI Bali, NLP Yunianti Suntari Cakra

“Seminar
kali ini bertujuan untuk mengedepankan peran perawat sebagai
perpanjangan tangan pemerintah dalam upaya memberikan pemahaman kepada
para orangtua juga anak-anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan
terjadap anak,” ujar Yunianti.

Tampil sebagai pembicara kedua,
NS Heni Ekawati, M.Kep., Dosen dan pembimbing klinik Departemen
Keperawatan Anak memabahas “Sexual Abuse”, dimana pendidikan seks usia
dini sebagai salah satu upaya pencegahan seksual abuse pada anak.

Kata Ekawati, pencegahan dari tindakan bersifat orogenital, genitogenital, genitorektal, manogenital,
manorektal, ataupun kontak tangan dengan payudara, paparan terhadap
organ seksual, mendorong atau memaksa anak melihat organ seksual, dan
mempertunjukkan pornografi pada anak atau mengikutsertakan anak dalam
produksi pornografi.

Seminar dipandu Luh Mira puspita itu menghadirkan pembicara
ketiga Irene F Mongkar, pemerhati anak yang menyerukan “Stop kekerasan
seksual pada anak”.

Perempuan akrab disapa Bubun itu
menjelaskan, ditinjau dampak psikologis, hasil studi, sebanyak 79%
korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang
mendalam, depresi, fobia, menutup dan menarik diri dari lingkungan, dan
gangguan traumatik pasca kejadian.

“Selain itu stres yang dialami
korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya,” tutur pakar
stimulasi bayi dan anak, serta pemegang lisence dari Glenn Doman,
Amerika itu.

Sedangkan dampak fisik ditimbulkan, antara lain
adanya kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama
penularan penyakit menular seksual (PMS).

Termasuk dampak cidera
tubuh dan dampak sosial, dimana korban kekerasan dan pelecehan seksual
sering dikucilkan dalam kehidupan sosial.

Adapun empat jenis
dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak,
yaitu pengkhianatan (betrayal), anak merasa terancam untuk dapat
mempercayai orangtuanya, trauma secara seksual (traumatic
sexualization), dan merasa tidak berdaya (powerlessness). Selain itu,
umumnya korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk.perawat. (gek)

Berita Lainnya

Terkini