Salah satu produk tenun Bali yang diproduksi Kelompok Tenun Artha Dharma di Singaraja/Dok. Kabarnusa |
Singaraja– Bali memiliki kekayaan kerajinan Tenun yang dikenal hingga seantero dunia. Namun, seiring pesatnya perkembangan teknologi industri tekstil menggerus keberadaan perajin tenun yang semakin langka dan terancam punah. Satu diantara sedikit usaha yang masih konsisten menggeluti tenun tradisional Bali sejak tahun 2002 adalah Kelompok Tenun Artha Dharma di Kabupaten Buleleng.
Siang itu, tatkala rombongan media yang tengah mengikuti Capacity Building digelar Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali singgah di toko dan tempat produksi Artha Dharma, langsung diterima I Ketut Rajin pendiri sekaligus pemilik UMKM binaan Bank Indonesia di Sinabun, Kecamatan Sawan, Jumat 8 Oktober 2021.
Hampir sama dialami usaha lainnya yang terdampak pandemi, di tempat usaha Kelompok Tenun Artha tampak sepi, tidak banyak pembeli seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Meski omzet penjualan mengalami penurunan tajam hingga 70 persen, namun Rajin tetap bersemangat dan optimis dengan usaha pertenunan tradisional Bali.
“Mudah-mudahan bisa kita lalui setelah hampir dua tahun ini dampak pandemi, semoga dibukanya kembali pariwisata pada 14 oktober mendatang, pariwisata Bali bisa bangkit, pasar bisa bergairah kembali,” harapnya.
Rajin menuturkan, jika sebelumnya omzet penjualan seluruh produk tenun miliknya bisa rata-rata perbulan mencapai Rp100 Juta sampai Rp150 Juta, kini melorot tajam.
Kendati mengalami kelesuan bisnis, tidak lantas membuat Rajin berkecil hati. Keterpanggilan hatinya untuk melestarikan budaya menenun di Bali, menjadi alasan kuat baginya tetap bertahan menggeluti usaha tenun tradisional di tengah gempuran industri tekstil.
“Terketuk hati saya, melihat keadaan budaya menenun sudah punah di masyarakat,” ucapnya kepada wartawan dan para pejabat BI seperti Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Rizki Ernadi Wimanda.
Dijelaskan, sejak tahun 2002, dengan merintis pusat dan pelatihan pengembangan tenun Bali, pihaknya merekrut pengangguran dan ibu ruah tangga maupun pengangguran terselubung untuk dipekerjakan.
“Kami ingin menumbuhkan kembali, budaya menenun sehingga ada regenerasi, penenun lama usianya sudah uzur, kalau tidak mulai sekarang, untuk meregenerasi mereka, lama kelamaan budaya menenun di Bali akan punah,” tandasnya.
Seiring waktu agar bisa tetap bertahan, pihaknya beradaptasi dengan membuat kain endek dan songket dengan tiga bahan yakni kimiawi seperti seragam perkantoran hingga komunitas.
Kemudian, mengerjakan kain tenun mamakai celup ekstrak alam dan alam murni yang tidak memakai bahan kimia sama sekali yang terbuat dari daun, akar, batang dan pohon yang langsung diproses unutuk mendapatkan bahan pewarnaan.
Untuk bahan esktrak, dilakukan pengeringan dahulu, dibikin sepreti bubuk yang dipakai celup. Untuk pencelupan alam murni dengan kimia, akan jelas sekali perbedaannya pada hasilnya.
Saat ini, pihaknya tengah mengembangkan pencelupan bahan alam murni dengan mengkolaborasikan untuk kain songket, endek, fesyen baru dengan bahaan kimiawi.
Pihaknya mencoba melakukan kombinasi itu yang sejatinya sudah pernah dilakukan namun momentumnya dahulu belum tepat.
Saat sekaranglah, dinilai tepat untuk memunculkan bahan alam sesuai tren orang yang semula suka memakai warna cerah atau norak, kini bisa menerima warna alam yang lebih elegan.
Setelah ada perbandingan menyebabkan terjadinya perubahan atau pergeseran pasar setelah banyak konsumen mengetahui kualitas produk yang berbahan alam dibanding yang berbahan kimia.
Sebagaimana terlihat dari animo pasar domestik yang cukup besar namun belum bisa dipenuhi semuanya.
“Produksi kami lebih pada bikinan handmade tanpa bantuan mesin, sehingga produksinya tidak banyak,” imbuhnya.
Selain itu, juga membuat desain baru yang lebih kreatif di mana setiap bulan selalu membikin disain baru agar masyarakat tidak jenuh.
Berkat bantuan dan bimbingan Bank Indonesia, kata Rajin, usaha tenunnya tetap eksis dan bisa memperluas pasar sehingga produk-produk tenun Bali semakin diterima pasar. (rhm)