Kabarnusa.com – Dalam membangun kemandirian desa dan menjadikannya sebagai subjek pembangunan nasional merupakan amanat penting dari UU No.6/2014 tentang Desa sehingga dibutuhkan kerja sinergis antar semua elemen bangsa.
Ada lima aturan teknis, berupa peraturan menteri desa (Permen Desa) telah diterbitkan sebagai panduan dalam mengawal implementasi UU Desa.
Masing-masing Permen Desa No.1/2015 tentang Pedoman Kewenangan berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Permen Desa No.2/2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa; Permen Desa No.3/2015 tentang Pendampingan Desa.
Juga,Permen Desa No. 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; dan Permen Desa No.5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Berbagai upaya ini, hanyalah bagian dari proses panjang untuk memajukan desa secara hakiki.
“Butuh kerja bersama dan sinergis antar elemen Pemerintah, perguruan tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil,” kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar Senin (28/12/2015)
Gerakan nasional Desa Membangun bisa terjebak pada jalan buntu jika program untuk desa dijalankan dengan pendekatan yang parsial, apalagi jika semua pihak bekerja sendiri-sendiri dengan mengedepankan ego sektoral masing-masing.
Implementasi UU Desa merupakan agenda besar yang kompleks dan penuh tantangan. Hal itu membutuhkan kerja sama yang sinergis antar berbagai elemen Pemerintah, perguruan tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil.
Pihak Kementerian Desa, telah memetakan berbagai problem yang harus diatasi dalam implementasi UU Desa. Sedikitnya ada enam tantangan besar dalam implementasi UU Desa.
Pertama, adanya fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat UU Desa.
UU Desa mengamanatkan pengaturan tentang keuangan Desa yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk Dana Desa.
Selain itu, meliputi pengakuan terhadap kewenangan Desa, kerja sama antar Desa, penguatan lembaga kemasyarakatan Desa, penetapan dan pemberdayaan Desa adat, partisipasi masyarakat Desa, dan lain-lain.
“Semua ini mesti diimplementasikan secara utuh, sehingga amanat UU Desa dapat terlaksana secara komprehensif,” tegasnya.
Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa.
Di satu sisi Dana Desa menjadi berkah bagi Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa.
Dana Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.
Akibat itu semua, Dana Desa terkesan menimbulkan ketergantungan baru, karena belum digunakan untuk kegiatan yang dapat menopang perekonomian masyarakat setempat serta meningkatkan pendapatan asli Desa.
Dan yang lebih parah lagi adalah penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur.
Ketiga, demokratisasi Desa masih menghadapi kendala praktek serba administratif. Aparatus Pemerintah Daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalam hal penggunaan Dana Desa.
Keempat, proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa berhadapan dengan realitas masyarakat perdesaan yang didominasi oleh masyarakat miskin yang salah satu penyebabnya karena struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria yang timpang.
Kelima, partisipasi perempuan dalam musyawarah Desa belum tersebar luas di Desa. Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
Keenam, tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata ruang ala “Pemda/Dinas PU” cenderung tidak sebangun dengan aspirasi Desa-desa. Agregat dari pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”.
Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa.
Kompleksitas masalah dan tantangan itu mengharuskan kita semua segera berbenah diri dan mengambil tindakan konkrit untuk menyelesaikannya.
“Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi nasional guna menyatukan berbagai aspirasi pihak yang ikut mengimplementasikan UU Desa,” tutupnya. (ari)