Menyingkap Prostitusi Anak Bawah Umur di Pulau Bali

30 Oktober 2016, 23:58 WIB
ilustrasi

DENPASAR – Prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur, menjadi keprihatinan banyak pihak seperti halnya terjadi di Bali yang hingga kini terus berlangsung. Kian mudahnya akses internet, seperti sosial media yang memungkinkan transaksi bisnis haram itu menjadi mudah dilakukan, juga menjadikan anak gampang terperangkap dalam bisnis haram itu.

Tanpa kepedulian dan upaya serius orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam mencegah praktek negatif tersebut, maka hal itu akan menjadi pertaruhan masa depan anak-anak.

Data dihimpun dari kasus yang dilaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuaan dan Anak P2TP2A Kota Denpasar, kasus kejahatan seksual termasuk didalamnya pemerkosaan dan prostitusi pada tahun 2012 tercatat 7 kasus, 2013 sebanyak 9 kasus, 2014 tercatat 13 kasus dan pada tahun 2015 sebanyak 19 kasus.

Daerah yang disebut-sebut banyak praktek prostitusi anak seperti di Sanur, Denpasar Selatan. Jika Anda kebetulan berlibur ke kawasan wisata sanur, tidak terlalu sulit menemukan tempat-tempat yang menjajakan kenikmatan sesaat khususnya bagi pria hidung belang.

Seputaran kawasan Padanggalak Betngandang, Blanjong, Semawang  di Sanur, adalah tempat yang masih menjdi magnet pria hidung belang. Tragisnya, tak sedikit, mereka yang melakoni profesi itu masih di bawah umur alias usia sekolah.

Salah seorang pekerja seks komersial di kawasan Betngandang Sanur, sebut saja Ana, adalah contoh bagaimana gadis, yang mestinya masih menuntut ilmu, terpaksa dikurbankan karena kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya terjerumus dalam prostitusi.

Tidak terlalu sulit untuk bisa menikmati jasa pelayanan plus, cukup datang ke rumah-rumah yang beralamat dengan tanda nomor tertentu di Betngandang, pengunjung langsung bisa memesan sesuai selera.Soal harga, relatif fleksibel bahkan bergantung pintar-pintar negosiasi.

Secara umum, dengan kisaran Rp100 ribu hingga Rp300 Ribu, sudah bisa mendapatkan layanan pemuas nafsu di rumah yang memang menyediakan layanan khusus itu. Biaya sewa kamar juga murah sekira Rp100 ribu short time. sekira satu atau dua jam.

Selain melayani tamu yang didapatkannya sendiri, kadangkala, Ana juga mendapatkan tamu dari seseorang yang berperan sebagai pencari, pengantar tamu atau kurir. Dia Memberikan uang jasa sekira Rp30 ribu kepada mucikari.

“Sehari kadang bisa melayani dua atau tiga tamu, tidak mesti,” akunya dalam perbincangan belum lama ini. Dia mengaku tidak sembarangan melayani tamu, dia siap menerima jika ada deal atau kesepakatan soal tarif serta yang penting, tidak mau ambil risiko tertular penyakit.

“Biasanya saya minta tamu pakai kondom, kalau dia tidak mau ya saya tidak mau melayani,” kata perempuan asal Bandung Jawa Barat itu. Lantas, bagaimana dirinya bisa masuk dalam bisnis haram itu, Ana mengaku karena terpaksa, terdesak dengan kebutuhan hidup.

Diceritakan, karena keluarganya broken home, bercerai dengan suami lantaran punya anak yang harus dihidupi sehingga harus pergi merantau sampai ke Bali. “Waktu itu, diajak teman bekerja di rumah makan, taunya diajak ke sini, mau gimana lagi,” tuturnya.

Perempuan berkulit bersih yang kini berusia 18 tahun itu, bercerita menikah di usia sangat muda. AKhirnya pernikahannya kandas, dan dalam usia remaja itu, harus terjun ke dunia hitam. Hal sama dialami Wati sebut saja demikian, perempuan asal Balikpapan itu, juga mengaku bekerja di Bali sebagai pelayan kafe dan kadang memberikan pelayanan khusus kepada tamunya.

Dalam mencari tamu, selain saat bertemu di kafe, juga berkenalan lewat sosial media seprti Whatsapp, BBB, hingga facebook. Jika ada pria yang mengajaknya kencan, cukup berhubungan lewat telefon dan jika tercapai kesepakatan soal tarif, perempuan usia 17 tahun itu, siap memberikan pelayanan kepada tamunya.

Di pihak lain, aktivis  P2TP2A Siti Sapurah menyatakan, anak zaman sekarang sangat beda jauh dengan zaman  saya dahuulu. Jangankah hanphone secangih sekarang sekarag, untuk berkomunikasi saja, harus bertemu atau pakai telefone kabel.

“Kita tidak tahu, dunia maya seperti facebook, twitter skype dan lainnya yang memungkinkan orang sangat mudah berkomunikasi dengan siapapun di manapun. Begitu menjamurnyam media sosial, blackberry messanger dan jenisnya, namun orang tua tidak jeli. Dengan membelikan hanpphone canggih, orang tua justru bangga,

Merasa cukup telah membelikan anaknya hanphone canggih, orang tua merasa senang dan bangga menjelaskan kepada publik bahwa anakanya lebih pinter dari dirinya, “Menurut saya itu suatu kebodohan orang tua, bangga melihat anaknya lebih pinter teknologi darinya, ” kata Sapurah dalam perbincangan belum lama ini.

Kenapa orang tua bangga sekali, apakah mereka mengetahui, dengan alat teknologi canggih itumenjadi pintu masuk segala bentuk kejahatan buat nanak anaknya. Mengapa demikian, karena orang tua sudah terlampau senang melihat anaknya, seperti baik-baik saja, tenang di kamar memainkan HP, tablet atau lapto, hingga berjam-jam, tanpa mau melakukan pendampingan.

Siti Sapurah

Pendampingan tidak pernah dilakukan bahkan orang tua tidak pernah tahu user atau passowrd Facebook (FB) anaknya. Mereka tidak pernah tahu nomor PIN BB atau HP anaknya.  Ketika orang tua membuka HP harus bertanya ke anaknya. Bagaimana jika kemudian anaknya lebih galak bahkan tidak mau memberitahukan password dan seterusnya,

“Orang tua bangga dengan cara hidup seperti ini,  padahal kita tidak tahu, saat anaknya keluar, di luar jam sekolah dia tidak tahu kemana anaknya pergi,” imbuhnya. Belum tentu mereka pamit pergi untuk belajar kelompok atau pergi beribadah, ekstrakulikuler, benar-benar seperti izinnya. Bagaimana jika kemudian, diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya lewat media sosial di HP itu.

Belum lagi, dunia maya tak jarang membuat orang gampang mudah terjebak. Apakah benar, orang dalam yang dkenal lewat HP, sesuai gambarnya misalnya orang alim, taat beribadah berpakian agamis dan lainnya. Orang yang terlihat baik dan agamis seperti terlihat di media sosial, belum tentu kenyataan aslinya demikian.

Apalagi, orang dengan mudah memasang foto profile, memakai milik orang lain atau bukan wajah aslinya.

Sapura melanjutkan, beberapa orang korban seperti yang didampinginya, akhirnya terjebak.M elihat orang yang seperti terlihat baik, cantik atau gagah, berwibawa dan sopan, begitu bertemu kemudian menawarkan pekerjaan yang menggiurkan dengan iming-iming uang atau barang.

Para pelaku kejahatan itu, melakukan bujuk rayu menawarkan pekerjaan tambahan kepada anak-anak di bawah umur yang masih labil, dengan pekerjaan cepat dan gampang namun hasilnya besar. cukup kerja satu dua jam sudah bisa membawa uang Rp500 ribu Rp1 juta.

“Anak-anak ini, tidak tahu, dia ditawarin uang dan barang-barang seperti HP, baju baru dan lainnya,” sambungnya. Akhirnya tak sedikit mereka yang mau bersedia dengan iming-iming pekerjaan itu.

Kata Ipung, sapaan Sapura, banyak korban, awalnya tidak menyadari bakal masuk perangkap pelaku kejahatan seks yang menjualnya kepada pria hidung belang seperti sejumlah tempat di Sanur, Padanggalak, Denpasar.

Pelaku entah mucikari, atau germo biasanya mengimingi, korban yang tidak berdaya itu menuruti perintahnya melakukan pekerjaan dengan iming-iming uang dan barang-barang lainya.

“Itu kan cara bujuk rayu, anak-anak sudah terima uang loh sampai satu juta,  anak diantar satu tempat, lalu diminta menunggu ada datang seseorang, dalam satu dua jaman saja di kamar, apa yang bisa dilakukan, sama anak ini,” ucapnya.

Tentu, tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali dia harus menerima untuk pertama kalinya hilanglah keperwanan anak ini.

Besoknya mereka sudah kena jebakan lagi, sulit untuk keluar dari dunia itu, Pasalnya, pelaku tidak segan-segan mengancam akan menyebarkan foto-foto korban ke publik atau dunia maya karena apa yang telah dilakukan anak-anak itu tanpa disadarinya, telah direkam oleh pelaku.

Lantas, apa yang bisa dilakukan anak-anak tadi, dia tidak mampu melawan dan sudah masuk dalan lingkaran mucikari ini. Awalnya, mereka menolak, terpaksa namun karena melihat dalam lingkungan pergaulannya, tak sedikit kaumnya juga melakukan hal tak terpuji itu, akhirnya diapun sulit keluar dari lingkaran bisnis prostitusi.

Mereka sulit keluar, apalagi, sudah masuk dalam kelompok atau grup jaringan prostitusi yang memanfaatkan sarana komunikasi lewat BB atau whatsapp dan lainnya, Karena keterikatan dan ketergantungan diantara mereka ditambah desakan kebutuhan ekonomi yang sudah dipenuhi para pelaku itu sehingga sulit meninggalkan dunia hita,

“Dunia maya teknokogi telah menjadi pintu masuk buat anak sebagai korban tindak kejahataan orang dewasa,” tegas Ipung.

Dari kasus-kasus kejahatan seksual anak yang pernah ditangani LP2TP2A Denpasar maupun data dari lembaga lain termasuk kepolisian, Bali terbilang tinggi. Korban perdagangan anak melalui media sosial di Bali sejak lama. Kasus pertama yang pernah terekam di Sanur tahun 2011 dan Singaraja Buleleng tahun 2013

“Banyak kasus kejahatan dunia maya dengan anak sebagai korban, sering masuk lewat inbox email hingga sosial media lainnya, FB, WA,” sambungnya.

Yang memprihatinkan, kata Ipung, seperti di Sanur, anak-anak di bawah 18 tahun yang sudah terjerumus bisnis prostitusi itu, sudah merasakan nikmatnya mencai uang dengan cara gampang. Mereka kemudian menyeret teman-temannya.

Teman sebanya diajak kemudian dijual kepada pria hidung belang dengan janji semua kebutuhan dicukupi.

“Seperti yang saya bilang, waktu anak-anak korban itu direkrut mucikari, ya iming-imingnya kerja dua tiga jam, dapat uang Rp500 ribu sampai Rp1 juta, ya anak-anak yang labil, tidak punya prinsip dasar agama dan pendidikan yang kuat, apalagi dikasih hp baru, pastilah dia mau,” katanya.

Setelah diberi HP, semakin mudah mereka berkomunikasi lewat BB, WA dan lainnya. Kasus terakhir, kata Ipung, ada anak korban kejahatan ini, dijual mucikari lewat dunia maya. Kondisi itu, sangat memprihatinkan, bahkan Ipung mengingatkan bahwa kasus kejabatan dengan menggunakan medsos sangat tinggi di Bali, sehingga perlu perhatian semua pihak.

“Cuma kita mau kerja apa tidak, mencegah ini, tak jarang pelaku kejahatan ini tidak bisa dihukum maksimal karena melibatkan anak-anak,” tandasnya. Para pelaku mucikari dewasa, menurut Ipung, sekarang sudah mulai pintar dengan merekrut anak-anak untuk mencari korban-korban baru.

Korban yang pernah didampinginya, sampai putus di pengdilan. Namun karena pelakunya atau mucikarinya anak-anak di bawah umur, sehingga tidak mungkin diputus tinggi. Akhirnya germo atau maminya yang dewasa tidak tertangkap sampai sekarang.

Jadi, para pelaku sesungguhnya masih tetap beroperasi sampai sekarang mengincar anak di bawah umur untuk kejahatan seksual atau prostitusi anak. Sebagian mucikari cukup jeli sekarang, karena dia tahu anak kecil hanya akan ditangkap dan tidak akan dihukum berat.

Kalau yang tertangkap anak di bawah umur, dia akan bebas atau setidaknya anak dibawah umur tidak bisa dihukum berat atau setegahnya dari hukuman orang dewasa.

 “Muckari lolos terus, jadi ada pemafataan di sini, apalagi ada sistem peradilan anak sesuai UU 11 tahun 2012, anak berhadapan dengan hukum, tambah banyak karena mereka dimanfatakan orang dewsa yag benarnya penjahat,” tukasnya.

Mengapa praktek perdagangan anak dalam kejahatan seksual ini terus berlangsung menut Ipung karena pemeringan tidak memiliki kepedulian denganckasus seperti itu.

Tidak adanya pengawasan pemerintah, masyarakat lingkungan sekitar. Praktek itu berjamur di Sanur misalnya. Lantas itu semua mau diapakan pemerintah, padahal banyak anak di bawah umur bekerja di sana. Orang tua , pemerintah masyarakat bisa melakukan apa atas kenyataan itu.

Penyebabnya, masyarakat sudah apatis, pemrintah memang tak peduli, masih mengganggap masalah itu biasa. Mainset masyarakat masih anggap bahwa korban anak-anak di bawah umur ataupun perempuan dewasa, merasa tenang-tenang saja, menikmati, apa yang perlu diributkan.

“Tetapi, pernah ga kita berfikir bahwa dia adalah anak kita. bagaimana kalau  itu terjadi menimpa pada anak kita, nah itu, yang tidak pernah dipikirkan kembali, karena mereka anggap anggap bukan anak saya, bukan adik saya, bukan keluarga ssya, itulah pemikiran orang orang yang salah,” tegasnya lagi,

Tak kalah pentingnya, fakta seperti itu terus berlangsung, karena ada pembiaran, ada kemiskianan yang sengaja dibiarkan, ada pembodohan yang sengaja dibiarkan.

Masyarakat atau pemerintah, cobalah berfikir jangan bodohi masyarakat. berikanlah mereka mendapatka haknya secara baik seprti pendidikan, dari formal SD sampai SMA. Karena tak sedikit korban berlatar ekonomi tidak mampu karena terdesak kebutuhan sehingga terjerumus ke prostitusi.

Jika semua hak-hak masyarakat untuk kesempatan kerja, pendidikan, itu dilakukan, Ipung yakin, mereka bisa bekerja dengan baik.

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali Titik Suhariyati juga menilai, banyaknya kasus anak sebagai korban seperti prostitusi, tak lepas dari kurang perhatiannya orang tua, dalam mengawasi dan mendampingi anak.

Bahkan, dalam kasus yang pernah ditanganinya di Kabupaten Jembrana Bali, ada orang tua yang terkesan menjual atau membiarkan anak gadisnya, yang masih sekolah menjadi peliharaan seorang pria asing, demi menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Alasannya karena terdesak kebutuhan ekonomi, kemudian, merelakan anak yang masih di bawah umur itu, melayani hasrat pria hidung belang yang merupakan warga Jepang itu. “Semua kebutuhan sekolah dan keluarga anak itu dicukupi, motifnya memang ekonomi,” sambung Titik.

Ironisnya, masyarakat juga tidak peduli dengan situasi itu, sehingga tidak ada kontrol sosial yang kuat terhadap

Secara terpisah, Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Anak Agung Made Sudiana mengajak masyarakat mengantisipasi atau melakukan pencegahan, tidak hanya setelah terjadi seperti kejahatan seksual anak baru melapor.

“Marilah leading sector terkait, ikut berperan lagi, terutama keluarga, peran orang tua. sehingga jumlah atau angka tindak kejahatan seksual atau prostitusi melibatkan anak di bawah umur , bisa dikurangi. Ini yang kita harapkan,” tegas mantan Kapolresta Denpasar ini.

Tidak bisa begitu kejadian langsung lapor polisi, tidak bisa. artinya, bagaimana masyarakat juga mengupayakan pencegahan. Perlindungan terhadap anak tetap dilaksanakan, namun orang tua yang lebih tahu kondisi anak, harus berperan lebih menjaga mereka.

Menurut Agung, orang tua tinggal di banjar mana, di keluarga itu banjar akan berpengaruh. Di bali adat budaya nomor satu,  artinya inilah cikal bakal menanggulangi kejahatan seksual dengan sasaran anak-anak di bawah umur.

“Saya rasa tetap pengawasan, tidak lepas dari pencegahan tadi, sehingga ada fungsi preventif, represif, preventifnya bagaimana, tidak lepas dari aspek sosial, tidak bisa polisi saja,” urainya. Makanya, pihaknya mendukung apa yang disampaikan Bupati Badung Nyoman Giri Prasta, akan cepat memerangi, hal hal praktek prostiusi di Bali.

“Mungikin beliau (Bupati Giri), ingin membuktikan seperti di Jakarta agar Bali Bebas praktek seperti itu. Bisa tidaknya dikembalikan kepada masyarakat,” tukasnya . Kepolisian, tentu bisa melakukan secara kontinyu, mengawasi secara kontinyu.

“Saya rasa bisa, apa sih yang tidak bisa, asal kita punya komitmen yang baik untuk menghentikan praktek itu,” sambunhnya. Apalagi, keberadana desa adat pekraman, semua berperan, tidak bisa hanya seorang stakeholder,

Lantas, disinggung apakah, praktek kejahatan seksual anak seperti itu, apakah terselubung atau diam-dim terselubung, Agung tidak bisa menyampaikan

“Artinya, kondisi sosial kita kembalikan, operasi pekat sudah protap, pasti pantau cyber, saya rasa sudah banyak, apa yang dilakukan polisi untuk pencegahan, sudah banyak dilakukan,” imbuh Agung. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini