Yogyakarta – Warga menuntut agar akses ke Pantai Sanglen di Kabupaten Gunungkidul dibuka kembali dan pengelolaan pariwisata melibatkan mereka secara lebih adil.
Sebagaimana keterangan tertulis dikirim WALHI Yogyakarta, warga mengalami tekanan dan ada pihak-pihak yang sengaja ingin membenturkan mereka sehingga memicu ketegangan.
Pada Jumat (21/12/2024), sekitar pukul 22:00 WIB warga tergabung dalam Paguyuban Sanglen Berdaulat mendapat publikasi pesan melalui Whatsapp.
Pesan berisi ajakan kepada beberapa elemen masyarakat berkumpul dan mendukung Kraton Yogyakarta dalam menertibkan Pantai Sanglen dari aktivitas ekonomi warga yang tergabung dalam Paguyuban Sanglen Berdaulat.
“Penertiban lokasi” ini dimaksudkan agar Kraton Yogyakarta yang telah bekerjasama dengan Obelix dapat membangun objek wisata premium di kawasan Pantai Sanglen.
Pesan tersebut direspon anggota Paguyuban Sanglen Berdaulat dengan berkumpul dan melakukan penjagaan di area sekitar Pantai Sanglen untuk menjaga warung-warung yang telah dibangun mereka tidak dirobohkan.
“Situasi ini memicu protes warga yang menuntut agar akses ke Pantai Sanglen dibuka kembali dan pengelolaan pariwisata melibatkan mereka secara lebih adil,” kata perwakilan WALHI Yogyakarta dalam keterangan tulisnya yang diterima, Selasa (24/12/2024).
Kemudian sekitar pukul 11.00, perangkat Kelurahan Kemadang bersama belasan peserta aksi yang dikawal kepolisian mendatangi Pantai Sanglen. Pihak Kelurahan Kemadang diwakili Carik melakukan orasi.
Dalam orasinya itu, pihak kelurahan menyampaikan warga yang sebelumya telah berjualan di Pantai Sanglen harus menghentikan aktivitas ekonominya. Sebab telah ada kerja sama antara Kraton Yogyakarta, Obelix, dan Pemerintah Kelurahan Kemadang untuk mengembangkan Pantai Sanglen.
Jika warga tidak menghentikan aktivitasnya, maka warga akan ditindak secara hukum.
Sempat terjadi ketegangan saat perwakilan kelurahan mempertanyakan legalitas aktivitas warga yang selama ini dalam mengusahakan Pantai Sanglen dan memerintahkan warga menghentikan aktivitasnya.
Namun ketegangan ini segera mereda ketika anggota Paguyuban Sanglen Berdaulat meninggalkan lokasi. Secara legalitas, padahal warga membayar pajak kepada kelurahan, sebagai bukti bahwa keberadaan warga diakui oleh kelurahan.
Jangankan membela hak warga yang telah membayar pajak, legalitas warga justru dipertanyakan.
Intimidasi dan provokasi dihadapi warga yang mengusahakan Pantai Sanglen berangkat dari penutupan pantai dan penggusuran warung-warung warga pada Bulan Juli 2024 yang dilakukan Kraton Yogyakarta dan Obelix.
Berdasarkan keterangan Panitikismo pada saat warga mendatangi Kraton pada tanggal 21 November 2024, Kraton Yogyakarta menutup dan menggusur warung-warung warga di area Pantai Sanglen karena Kraton Yogyakarta telah menjalin kerjasama dengan Investor (Obelix) untuk membangun Obelix Beach Resort.
Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan.
Karena hal ini, warga khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
Dalam rilisnya juga, WALHI Yogyakarta menilai pembangunan resort telah melanggar aturan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian budaya.
“Mereka berharap pemerintah dan pihak terkait lebih mendukung kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pemodal besar,” tulis rilis WALHI Yogyakarta. ***