Pakar UGM: Cuci dan Masak Beras Tak Sepenuhnya Hilangkan Zat Berbahaya Beras Oplosan

Konsumsi beras oplosan bisa menimbulkan dampak kesehatan mulai peradangan sistemik, gangguan fungsi hati dan ginjal, hingga risiko kanker

25 Juli 2025, 09:19 WIB

Yogyakarta -Maraknya peredaran beras oplosan yang dicampur bahan kimia seperti pemutih, pewarna sintetis, hingga plastik sintetis menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., menegaskan bahwa praktik ini merupakan bukti lemahnya sistem pengawasan distribusi pangan, khususnya di tingkat produsen dan pasar tradisional.

Meskipun istilah ‘beras oplosan’ tidak secara eksplisit disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, praktik mencampur beras dengan bahan non-pangan tetap melanggar ketentuan keamanan dan mutu pangan.

“Meskipun istilah beras oplosan tidak digunakan secara resmi, praktik ini dapat ditindak dengan dasar hukum dalam Undang-Undang Pangan karena merugikan konsumen,” ujar Sri Raharjo pada Kamis (24/7).
Bahan Kimia Berbahaya dan Dampaknya

Sri Raharjo menjelaskan bahwa beberapa bahan kimia yang kerap digunakan dalam praktik ini meliputi klorin (pemutih), pewangi buatan, dan parafin (bahan plastik).

Zat-zat ini umumnya ditambahkan untuk menyamarkan kualitas beras yang rendah agar tampak lebih putih dan menarik secara visual.

“Klorin misalnya, digunakan untuk menghilangkan warna kusam, tapi zat ini bersifat karsinogenik dan sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jangka panjang,” jelasnya.

Paparan berkepanjangan terhadap zat-zat kimia tersebut sangat berisiko bagi kesehatan manusia.

Senyawa seperti hipoklorit diketahui dapat membentuk trihalometan, yang diklasifikasikan sebagai zat karsinogenik oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).

Selain itu, pewarna sintetis seperti Rhodamin B dapat menyebabkan sirosis hati atau gagal ginjal jika terakumulasi dalam tubuh.

“Konsumsi beras oplosan dalam jangka panjang bisa menimbulkan dampak serius bagi kesehatan, mulai dari peradangan sistemik, gangguan fungsi hati dan ginjal, hingga risiko kanker akibat akumulasi senyawa berbahaya dalam tubuh,” tambah Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM itu.

Ia juga menegaskan bahwa organ seperti hati dan ginjal akan bekerja ekstra keras menyaring zat asing ini, yang dalam jangka panjang bisa berujung pada kerusakan permanen.
Pencucian Tidak Efektif, Perlu Uji Mandiri

Sayangnya, Sri Raharjo mengungkapkan bahwa proses pencucian atau pemasakan tidak sepenuhnya efektif untuk menghilangkan zat-zat kimia berbahaya tersebut. Banyak masyarakat masih keliru menganggap bahwa mencuci atau menanak beras sudah cukup untuk membersihkan kontaminan.

“Pencucian mungkin bisa mengurangi sedikit pewarna, tapi residu plastik atau klorin tetap tertinggal dan tidak terurai saat dimasak,” katanya.

Oleh karena itu, Sri Raharjo mendorong masyarakat untuk melakukan pengujian sederhana di rumah guna mendeteksi beras yang dicurigai oplosan. Cara yang bisa dilakukan antara lain merendam beras dalam air untuk melihat apakah air berubah warna atau butiran beras mengambang.

Selain itu, beras yang dibakar dan mengeluarkan bau plastik juga patut dicurigai mengandung bahan sintetis. “Kalau beras direndam air lalu mengambang atau air berubah warna, atau saat dibakar mengeluarkan bau plastik, maka patut dicurigai mengandung bahan berbahaya,” ujarnya.

Pengawasan Pemerintah dan Edukasi Publik

Untuk jangka panjang, Sri Raharjo mendesak pemerintah agar memperkuat sistem pengawasan dan distribusi pangan melalui pendekatan teknologi dan edukasi publik. “Sanksi hukum saja tidak cukup, edukasi dan teknologi deteksi harus jadi bagian dari strategi pengawasan pangan kita,” tegas mantan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia itu.

Sebagai penutup, ia menghimbau masyarakat untuk lebih selektif dan kritis dalam memilih beras. Konsumen disarankan untuk membeli beras dari sumber terpercaya, memperhatikan label SNI, serta mempertimbangkan diversifikasi pangan.

“Masyarakat bisa mulai dengan membeli beras berlabel SNI, dan sesekali mengganti asupan karbohidrat dengan sumber lain seperti umbi-umbian,” pungkasnya.***

Berita Lainnya

Terkini