Yogyakarta – Ketegangan yang kian memuncak antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran serius di seluruh dunia, termasuk dari kalangan akademisi di Indonesia.
Para ahli menilai, konflik ini bukan sekadar ancaman bagi stabilitas Timur Tengah, melainkan berpotensi besar mengguncang ketahanan global, termasuk Indonesia sendiri.
Melihat kondisi ini, para pakar mendorong Indonesia untuk mengambil peran lebih agresif dalam kancah diplomasi internasional, terutama terkait isu nuklir.
Drs. Muhadi Sugiono, Dosen Hubungan Internasional UGM dan anggota International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN), menyoroti bahwa konflik Iran-Israel saat ini sangat strategis karena bersinggungan langsung dengan isu kepemilikan senjata nuklir yang telah lama menjadi perhatian dunia.
Konflik ini sangat spesifik karena menyentuh isu nuklir. Sejak tahun 1967, dunia sudah berupaya keras agar senjata nuklir tidak dimiliki negara-negara selain lima negara resmi pemilik senjata nuklir dalam perjanjian NPT.
“Namun, kini situasinya berubah ketika Iran dituduh meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen,” tegas Muhadi pada Senin (30/6/2025)
Ia menambahkan, agresi militer Israel terhadap fasilitas nuklir Iran merupakan kelanjutan dari obsesi lama Israel untuk menjadi satu-satunya kekuatan nuklir di kawasan. Ketegangan tersebut diperparah dengan pernyataan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang menuding Iran tidak mematuhi komitmen dalam perjanjian NPT.
“Israel tidak akan merasa aman selama ada negara lain di kawasan yang punya kemampuan nuklir. Itulah sebabnya serangan akan terus terjadi sampai mereka yakin Iran benar-benar tidak mampu mengembangkan teknologi nuklir,” jelasnya.
Muhadi juga menyoroti posisi Indonesia dalam merespons dinamika global ini. Ia menilai politik luar negeri Indonesia selama ini cenderung berhati-hati, namun kurang memiliki strategi yang konkret untuk merespons isu strategis global seperti konflik nuklir.
“Kita safe player. Tidak ikut campur, tetapi ingin berperan dalam perdamaian. Indonesia seharusnya memanfaatkan perannya di Gerakan Non-Blok dan forum internasional untuk mendorong diplomasi nuklir yang adil, serta menuntut penerapan NPT secara konsisten tanpa standar ganda,” tegasnya.
Sementara itu, sosiolog dan peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Dr. Muhammad Najib Azca, melihat konflik Iran–Israel sebagai bagian dari kontestasi dua kutub kekuatan besar di Timur Tengah yang tak kunjung usai. Menurutnya, Iran dan Israel masing-masing memiliki jaringan proksi yang memperluas skala konflik.
“Yang terjadi saat ini merupakan bentuk lanjutan dari konflik yang tidak pernah selesai. Hamas sebagai proksi Iran di Palestina, Lebanon, dan Suriah menjadi bagian dari dinamika ini,” ujar Najib.
Najib juga menyoroti pentingnya Indonesia memperjelas arah kebijakan luar negeri di tengah gejolak global yang makin tidak menentu. Ia menyebut kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam forum internasional di Rusia, dan bukan di G7 Kanada, sebagai sinyal politik luar negeri bebas aktif yang lebih berani.
“Menurut saya itu gestur penting, bahwa Indonesia ingin menjaga jarak dari dominasi satu blok kekuatan global. Kita tidak bisa terus-menerus pasif. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas diplomasi dan ikut memperjuangkan perdamaian dunia secara aktif dan adil,” ungkapnya.
Selain itu, Najib memperingatkan dampak konflik Timur Tengah terhadap situasi domestik Indonesia, terutama dalam hal stabilitas ekonomi dan sosial.
“Ketegangan ini bisa berujung pada kenaikan harga energi global, membebani anggaran subsidi, dan akhirnya berdampak ke masyarakat luas. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa berpangku tangan,” tegasnya.
Najib kembali berharap, Indonesia bisa memainkan peran global lebih aktif di bawah pemerintahan Prabowo yang memiliki karakter diplomatik lebih kuat dibandingkan pendahulunya.
“Prabowo punya artikulasi publik di dunia internasional karena wawasan, kemampuannya berkomunikasi di dunia internasional,” pungkas Najib.***