Pameran Hamong Nagari, Kisah di Balik Busana Abdi Dalem Keraton Yogyakarta

Memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, pameran ini menampilkan 15 koleksi busana abdi dalem Keraton yang merepresentasikan sejarah panjang Keraton.

8 Maret 2025, 23:39 WIB

Yogyakarta – Sebuah perhelatan budaya kembali digelar di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pameran temporer “Hamong Nagari” resmi dibuka oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 7 Maret 2025 di Kagungan Dalem Pagelaran Keraton.

Masyarakat dapat mengunjungi pameran yang berlangsung hingga 17 Agustus 2025 ini mulai 8 Maret.

Dalam rangka memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, pameran ini menampilkan 15 koleksi busana abdi dalem Keraton yang merepresentasikan sejarah panjang Keraton.

Pameran Hamong Nagari menampilkan 15 koleksi busana abdi dalem Keraton yang merepresentasikan sejarah panjang Keraton/dok.oliviarianjani

Keunikan pameran ini terletak pada busana-busana yang ditampilkan, yang sebagian besar merupakan hasil rekonstruksi langka dari arsip dan manuskrip kuno.

Lebih menarik lagi, peragaan busana kebesaran abdi dalem diiringi alunan vokal acapella dari Royal Choir, bukan gamelan.

GKR Bendara, Pengageng Nitya Budhaya, menjelaskan hal ini sesuai dengan tradisi Keraton Yogyakarta yang melarang penggunaan gamelan selama bulan Ramadan, serta arahan dari Pengageng Kridha Budaya.

Terjadi perubahan dalam tradisi pembukaan pameran di Keraton. GKR Bendara mengungkapkan bahwa, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang menampilkan tarian pada malam hari, pembukaan kali ini dan diperkirakan untuk tiga tahun ke depan, akan diselenggarakan dengan suasana yang berbeda.

GKR Bendara kemudian menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I, dalam upayanya membangun kerajaan pasca Perjanjian Giyanti, membentuk aparatur negara yang bukan hanya berfungsi dalam pemerintahan, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan dalam berbagai aspek, termasuk adat, militer, dan spiritual.

Perubahan signifikan terjadi pada struktur pemerintahan Yogyakarta pasca Perang Jawa. GKR Bendara mengungkapkan bahwa keterbukaan ekonomi pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII memicu pembentukan lembaga-lembaga baru untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas pemerintahan.

Perkembangan ini terus berlanjut hingga masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan tercatatnya 113 kelompok Aparatur Nagari Ngayogyakarta sebelum pendudukan Jepang.

Pasca kemerdekaan, khususnya setelah Agresi Militer Belanda II, terjadi perubahan mendasar yang membentuk Aparatur Nagari Ngayogyakarta hingga saat ini.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY, menjelaskan bahwa tema “Hamong Nagari” berfungsi sebagai ruang untuk memahami perjalanan panjang aparatur Nagari Ngayogyakarta.

Sultan menyoroti peran mereka dalam menjaga kelestarian keraton, yang mencerminkan sejarah pengabdian.

“Keberadaan aparatur nagari adalah simbol kewibawaan dan kawiryan, yang diwujudkan dalam ajining diri ono ing lathi, ajining rogo ono ing busono,” kata Sultan HB X.

Dalam konteks Keraton Ngayogyakarta, Sultan HB X menegaskan bahwa aparatur nagari adalah representasi dari harmoni yang terjalin antara pemimpin dan rakyat.

Sri Sultan menegaskan, aparatur nagari adalah perwujudan puncak dari konsep manunggaling kawula lan gusti, sekaligus penghubung antara kepemimpinan dan pengabdian. Ia berharap pameran ini menjadi sarana untuk mendalami dan menghayati nilai-nilai dharma bakti yang telah diwariskan lintas generasi.

Aspek menarik lainnya yang patut diperhatikan adalah penggunaan wastra Palawija oleh abdi dalem penyandang disabilitas.

Penampilan kembali Wastra Abdi Dalem Palawija, menurut Kanjeng Mas Tumenggung Somarto Wijoyo, Carik Kawedanan Tandayekti Keraton Yogyakarta, didasarkan pada catatan sejarah pemerintahan Hamengku Buwono. Hal ini merupakan manifestasi perhatian Kesultanan Yogyakarta terhadap keberagaman masyarakat.

Pameran ini menjadi wahana edukasi bagi pengunjung untuk mendalami filosofi dan tata aturan busana Abdi Dalem, serta memahami relevansi warisan budaya tersebut dalam konteks kekinian. ***

Berita Lainnya

Terkini