JAKARTA– Pengamat Politik Internasional Arya Sandhiyudha menilai pertemuan pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara hingga Juni 2018 tidak terlalu membawa dampak signifikan karena kondisi akan tetap masih bergejolak .
“Terlebih menjelang pertemuan Trump dan Kim Jong Un,” ucap peraih Doktor Hubungan Internasional dari Istanbul University, Turki ini,
Neocon akan mencoba menelikung rencana ini, berikut pula soal isu terkait Iran, baik Nuklir ataupun terkait perannya di TimTeng.
Direktur Eksekutif MaCDIS Madani Center for Development and International Studies ini memprediksi, “Artinya habis Korea, Timteng masih terus memanas, sebelum Saudi dapat ditaklukan, distabilkan.”
Kondisi kawasan Asia Pasifik ke depan masih belum stabil. Ada yang mau intervensi menjelang pertemuan Trump dan Kim Jong Un.
Pertemuan Trump dan Kim adalah upaya untuk meredakan ketegangan kawasan. Akan tetapi, cara ini akan menuai kegagalan kalau AS tidak memberikan kompensasi yang sederajat bagi Korea Utara, misalnya membatalkan sanksi ekonomi, pengakuan diplomatik, dan beberapa pembatasan ketentuan kerjasama militer AS – Korea Selatan, sebagai pengganti dari tuntutan yang diminta oleh AS.
Sisi lainnya yang membuat pertemuan ini akan disorot karena ia sekaligus berpotensi berdampak pada aliansi keduanya di kawasan, yaitu Korea Selatan dan China.
Sebab baik pertemuan Korea Selatan dan Korea Utara ataupun nanti AS dan Korut sebenarnya ujungnya merupakan proyeksi keamanan Asia.
Dalam perspektif jangka panjang rencana pertemuan Trump dan Kim akan juga berdampak pada hubungan AS dan China dalam beberapa dekade. Isu utama nya adalah persaingan intens yang berujung apakah AS akan tetap berperan aktif dalam keamanan Asia dan mencegah meningkatnya dominasi kekuatan China atau justru AS akan dipaksa untuk mundur perlahan demi denuklirisasi di kawasan.
“Adapun Rusia dalam posisi mengawal proses ini. Sementara, Neocon AS akan ada yang mencoba intervensi. Trump ini posisinya kejepit.” tambah peraih Master bidang Studi Strategis dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura ini.
“Perspektifnya konflik semenanjung korea dipelihara pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, agar AS bisa mengaktivasi pengaruh di negara di kawasan itu di Asia Timur dan Tenggara” demikian Arya. (*)