Kabarnusa.com – Kaum perempuan di Bali kerap ditinggalkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan karena masih kuatnya persepektif pembangunan yang bias gender.
Karenanya, kini gerakan penyadaran terus digelorakan para aktivis perempuan di Bali lewat berbagai program kegiatan diantaranya yang digagas dalam Forum Discusion Group (FGD) Forum Perempuan Bali Karya.
Menurut Ketua Forum Perempuan Bali Karya Dewa Ayu Sriwigunawati, tantangan dihadapi bangsa ini terutama kaum perempuan makin berat, seiring masuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
“Kaum perempuan harus mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi masuknya MEA, seperti masuknya destinasi pariwisata baru di Bali,” tegasnya di Denpasar, Sabtu 14 Maret 2015.
Dengan begitu, perempuan tidak hanya menjadi penonton, melainkan mampu berperan berkontribusi dengan pemikiran yang cerdas.
Dia mempertanyakan dengan masuknya MEA ataupun pembanguan yang saat ini dilakukan apakah kaum perempuan diuntungkan atau sebaliknya menjadi korban atau sebagai pihak yang dirugikan.
“Ketika harus diuntungkan, peran apa yang harus dilakukan, sehingga tidak harus jadi penonton saja, jadi perlu disiapkan SDM yang unggul, FGD ini sebagai langkah awal yang nantinya akan mengerucut pada posisi tawar atau barganing positioan mereka,” tandas Sekretaris DPD Institut Lembang 9 Provinsi Bali ini.
Sri mengingatkan, kaum perempuan jangan hanya bisa menuntut namun bagaimana mereka bisa mempersiapkan diri dengan baik SDM. Sejauh ini, dia belum melihat adanya partisipasi kaum perempuan yang cukup signifikan di pelbagai sektor karena masih jauh dibawah peran kaum pria.
“Saya kadang miris melihat kaum perempuan Bali yang banyak dieksploitasi untuk kepentingan tertentu seperti baliho ibu-ibu PKK sampai di pelosok desa yang ramai-ramai menolak destinasi wisata baru (reklamsi Teluk Benoa),” sambung dosen di sebuah PTS di Bali itu.
Ditegaskan Sri, dia tidak dalam kapasitas menolak atau mendukung konsep reklamasi Teluk Benoa, misalnya, namun pihaknya mendorong agar kaum perempuan bisa berfikir cerdas memiliki kajian, sebelum mengambil keputusan.
Pendek kata, kaum perempuan jangan sampai mau dieksploitasi dan terjebak pada sikap penolakan terhadap hal-hal tertentu, tanpa lewat kajian yang matang yang mereka lakukan sendiri.
Untuk itu, dalam menyusun aksi dan kajian-kajian mereka perlu menggalang solidaritas dan kesadaran dengan semua elemen perempuan di semua lini.
“Saya melihat partisipasi perempuan dalam pembangunan di Bali masih minim, padahal potensinya cukup besar. Ini disebabkan karena pembangunan yang dilakukan tidak dalam persepektif gender sebaliknya terjadi bias gender,” imbuhnya.
Dalam FGD dihadiri berbagai elemen perempuan seperti dari kalangan akademisi UNiversitas Udayana, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesua (IWAPI) Bali, pengurus wanita Parpol dan lainnya. (rhm)