Jakarta – Pemerintah daerah diminta secara aktif terus mensosialisasikan program bantalan sosial bagi petani dan pekerja industri tembakau di wilayahnya.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menyebutkan, lima puluh persen dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) akan dialokasikan untuk menebalkan bantalan sosial bagi petani/buruh tani dan tenaga kerja di industri tembakau.
“Hal ini sebagai bentuk antisipasi dampak ketidakpastian global terhadap industri tembakau di Indonesia,” ujar Edy Priyono dalam keterangan tertulisnya Sabtu (14/1/2023).
Dijelaskan, sesuai hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi antara Kantor Staf Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri dan 77 Pemerintah Daerah baik provinsi atau kabupaten/kota penghasil tembakau.
Pada 11 Januari 2023, bantalan sosial akan diwujudkan dalam berbagai program.
Seperti pemberian bantuan pupuk, alat mesin pertanian untuk produksi atau pasca panen, dan bantuan langsung tunai.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan surat terkait penggunaan DBH CHT 2023.
Surat tersebut ditujukan kepada pemerintah daerah penerima DBH CHT sebagai perencana dan pelaksana program.
Pihaknya berharap, asosiasi petani tembakau juga dapat menyampaikan aspirasi program dan berkolaborasi dengan pemerintah daerah masing-masing.
“Agar program dapat sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah,” kata Edy Priyono menegaskan.
Sesuai amanat PMK No 215/2021, tiga persen dari penerimaan cukai hasil tembakau dialokasikan sebagai dana bagi hasil, yang dikelola oleh pemerintah daerah penghasil.
“Dari dana bagi hasil tersebut, lima puluh persennya harus digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,” sebutnya.
Sisanya, empat puluh persen untuk kesehatan, dan sepuluh persen untuk penegakan hukum.
Dengan demikian, kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau harus juga berdampak pada kesejahteraan petani dan pekerja.
Diketahui, pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023-2024.
Kebijakan tersebut mempertimbangkan berbagai aspek. Yakni, pengendalian konsumsi rokok, kesejahteraan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan rokok ilegal. ***