Kabarnusa.com –
Para lulusan perguruan tinggi atau kaum cendekia asal Papua dinilai
telah gagal paham atau lupa atas identitasnya sebagai orang Papua.
Mestinya,
dengan sejarah panjang pendidikan di Papua, masyarakat di wilayah
paling timur di Tanah Air itu sudah bisa menjadi pintar.
“Negara
gagal paham tentang Papua, tapi orang-orang Papua juga gagal paham
terhadap identitas dirinya,” kata Markus Peneliti Muda Yayasan
Pembangunan Masyarakat Desa (YPMD) Papua, Markus Binur dalam Talkshow
Strategi Pembangunan dan Pendidikan di Papua, di UGM, Sabtu (31/10/2015)
Dicontohkan,
sekolah-sekolah lebih banyak mengajarkan bahasa Inggris ketimbang
bahasa daerah sehingga sulit dipahami anak-anak Papua.
Demikian
juga, buku-buku terbitan Pemda atau pun pemerintah pusat, justru tidak
banyak diajarkan para guru, karena dianggap tidak sesuai kebudayaan
lokal di Papua.
“Identitas kami di-drive oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memberi ruang untuk berkembang,” anggapnya dilansir Kabarkota.com (sindikasi kabarnusa.com).
Kata
dia, buku-buku cerita rakyat, dengan bahasa Papua yang dulu sering
dipakai mengajar anak-anak, sekarang justru sudah tidak ada lagi.
Dalam
kesempatan sama, Koordinator Komunitas Sastra Papua Iriandi Tagihuma
menyampaikan, pendidikan pertama di Papua masuk sekitar tahun 1856 yang
dibawa para misionaris, Ottow dan Gessler.
Kala itu, lanjutnya, mereka mendirikan sekolah Pengadaban di Pulau Mansinam Manokwari.
Hanya
saja, kemudian diambil-alih oleh Belanda untuk pendidikan bagi calon
aparat pemerintahan di kampung-kampung, dengan pendidik I.S Kijne dan
Yoka.
Memasuki tahun 1940-an, pendidikan Belanda terputus dan
para guru yang ketika itu sempat menerbitkan buku-buku cerita rakyat
berbahasa daerah dan Melayu pun dipindahkan.
Iriandi melanjutkan, semua kurikulum Belanda dihilangkan menjadi kurikulum Negara Indonesia.
Padahal
sebenarnya, imbuh Andi, pendidikan di era kolonial Belanda mutunya
sudah disamakan dengan kualitas Eropa dengan melihat potensi masyarakat
di Papua.
Sementara Dosen Fakultas Sastra di Universitas Negeri
Papua (Unipa) I Ngurah Suryawan, berpendapat, semestinya pendidikan di
wilayah tersebut dikembalikan pada pendidikan bahasa ibu, melalui media
pembelajaran berupa buku-buku cerita rakyat.
Lanjut Suryawan,
dengan begitu, ananak-anak bisa belajar dan berkembang di dalam
dunianya, serta lebih merasa percaya diri dengan proses pembelajarannya
karena dekat dengan keseharian.
“Bahasa Indonesia bagi sebagian
rakyat Papua susah dipahami, jika awalnya mereka menggunakan bahasa ibu.
Tapi jika dengan menggunakan bahasa ibu itu, mereka bisa
mengekspresikan ide-idenya dengan lebih leluasa,” imbuh putra asal Bali
itu. (ari)