Rembang – Umat Islam kehilangan salah satu ulama perempuan Hj. Chudzaifah pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Pamotan, Kabupaten Rembang Jawa tengah,wafat menghadap Sang Khalik pada Minggu 17 Oktober 2021.
Almarhumah merupakan ibunda Dr. H Mohammad Nasih, M.Si, tokoh HMI yang menjadi Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon)
Rembang dan Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang
Kabar duka disampaikan Mohammad Nasih melalui pesan di media sosial whatsapp.
“Semoga almarhumah diampuni segala dosanya, diterima amal ibadahnya dan husnul khotimah,” ucap Nasih.
Dikutip dari tulisannya sebagai Pengantar Ibu Menghadap Allah berjudul “Durhaka yang Baik”, Nasih mengisahkan bagaimana sosok ibunda Hj. Chudzaifah yang begitu berperan penting membentuk perjalanan hidupnya.
Tulisan Nasih sebelumnya juga sudah disiarkan di baladena.id.
Dikisahkan, hubungan Nasib dengan almarhum, bukan hanya antara anak dengan ibu yang melahirkan, tetapi juga guru.
Pada fase belajar membaca Al-Qur’an, Nasih lebih dekat ibu karena ibu lebih sabar. Berbeda dengan bapak yang ingin langsung fasih dengan standar Mbah Kiai Arwani Kudus.
“Baru setelah fasih membaca al-Qur’an, saya dengan sadar berpindah ke bapak yang menerapkan tajwid yang ketat,” tuturnya.
Dalam fase setelah lulus SMU, dalam banyak kesempatan sesungguhnya “konfliktual”. Dalam banyak hal, berdebat panjang dan serius, bahkan sering menyisakan kesedihan bagi ibunda.
Namun, setelah itu tetap diambilkan pisang. Cerita bahwa saat kecil dulu, Nasih pernah menghabiskan satu tandan pisang selalu diulang. Walaupun sudah diulang-ulang, tapi seolah belum pernah diceritakan.
“Mulai hari ini, tidak akan ada lagi yang mengambilkan pisang dan mengulang kisah masa kecil saya itu. Ibu telah kembali kepada Allah Swt. waktu shalat tahajjud tadi,” tuturnya.
Konflik terjadi saat awal saya kuliah dan masuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Keluarganya berlatar belakang tradisi NU. Bahkan almarhum adalah salah satu murid sangat dekat pasangan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat Lasem, Mbah Kiai Ma’shoem dan Mbah Nyai Nuriyah.
Hj Chudzaifah mondok dan menghafalkan al-Qur’an di Al-Hidayat pada awal tahun 1970-an sampai Mbah Ma’shoem meninggal dunia.
Kehidupan keseharian dalam ibadah bias dikatakan “taqlid” kepada Mbah Ma’shoem. Di antara ceritanya, kebersamaan dengan Mbah Ma’shoem dan Mbah Nuriyah.
Masalahnya, adalah Hj Chudzaifah mendapatkan informasi keliru bahwa kalau masuk HMI berarti tidak NU lagi. Masalah ini agak mereda setelah berlebaran ke Pesantren al-Hidayat, untuk sungkeman kepada Mbah Zah (panggilan akrab kami kepada Mbah Azizah, salah satu puteri Mbah Ma’shoem).
“Saya sampaikan bahwa “bossnya” HMI adalah Anas Urbaningrum, menantu Kiai Attabiq Ali, yang juga adalah cucu Mbah Ma’shoem,” kenang Nasih.
Sebelumnya pulang, Mbah Zah memberinya sarung dan peci. Walaupun ukuran pecinya sudah dipastikan tidak cukup untuk ukuran kepalanya namun tetap dibawa pulang.
Rupanya, hadiah itu dimaksdukan agar kalau salat, agar peci dan sarungan tetap dipakau.
“Akhirnya saya tetap bisa jadi ketua umum komisariat dan berlanjut sampai PB HMI,” imbuhnya.
Banyak isu lain yang menyebabkan antara dirinya dan ibunda seolah menjadi seteru. Namun, yang unik adalah setelah perdebatan yang seru, seolah tidak terjadi apa-apa. Setiap kali berkunjung ke rumah, dan duduk di depan kursi yang biasanya ibu muraja’ah seharian.
Ibu, lanjit dia, selalu mengambilkan jajanan apa pun yang dibawanya pulang dari acara pengajian yang mungkin dua kali sehari dijalaninya. Dan tak pernah lupa, pisang.
Ibu sangat sensitif dan tak mau dirinya dianggap menyebabkan konflik. Ketika menyampaikan maksud mendirikan Planet NUFO dengan desain sebagai pesantren dan sekolah alam berjenjang menengah, ibunda langsung mencegah Nasih dengan dua argument utama:
Pertama, sudah ada pesantren kenapa harus mendirikan pesantren lagi. Ibuda Nasih mencurigainya berkonflik dengan adik, yang dipercaya melanjutkan pengasuhan Pesantren al-Falah, yang mantan aktivis Kohati.
“Saya tegaskan bahwa tidak ada konflik sama sekali dengan menunjukkan bukti-bukti konkret bahwa saya justru mensupport berbagai aktivitas pesantren al-Falah. Namun, situasi, kondisi, dan sistem pendidikan yang saya inginkan, tidak mungkin bisa terwujud jika diselenggarakan di Pesantren al-Falah,” ungkap Nasih.
Justru hal inilah yang bisa menyebabkan hubungan yang sebelumnya baik menjadi konfliktual. Sebab, penanganan lembaaga pendidikan yang akan didirikan berbeda dari yang sudah ada. Pesantren al-Falah yang didirikan oleh almarhum ayahandanya yang pesantren konvensioanal dengan fokus belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab salaf.
Sedangkan pesantren diimpikannnya, tidak hanya itu, tetapi juga akan membina santri-santri berpikir lebih rasional, berbudaya egaliter, melatih kewirausahaan, dan kepemimpinan organisasi. Dia sudah berbagi tugas dengan sang adik Ela mengurus Pesantren al-Falah.
“Ana yang juga mantan aktivis Kohati PB HMI yang memilih jalur usaha, dan omzetnya dalam beberapa tahun terakhir menanjak ke angka puluhan milyar, menjadi supporter pendanaan. Seluruh kebutuhan pesantren yang memerlukan dukungan finansial tidak boleh ditolak,” urainya.
Alasan kedua, di desa sudah ada MTs dan juga MA yang diantara tokoh pendiri utamanya adalah Ayahandanya dan kepala sekolah pertama. Perlu waktu yang tak sebentar untuk meyakinkan, bahwa murid dan santri Planet NUFO nanti bukan anak-anak warga Desa Mlagen. Akan datang dari seluruh penjuru Indonesia, kecuali Desa Mlagen.
Ditegaskan, lembaga pendidikan yang akan didirikan tidak akan mengganggu status quo yang ada di desa.
“Baru ibu kemudian agak luluh. Dan ketika Planet NUFO benar-benar sudah berdiri dan berkembang sehingga membutuhkan tanah tambahan, saya menyampaikan untuk menukar guling tanah ibu yang persis di sebelah barat Planet NUFO dengan salah satu petak tanah saya, akhirnya ibu mengatakan: “Wis nggo rak wis, Jawa: Ya sudah kamu pakai saja”,” tutur dia.
Planet NUFO menjadi dua kali lebih luas karena mendapatkan tambahan tanah ibunda Nasih dan setiap kali memberikan hadiah berupa uang yang walaupun jumlahnya tidak banyak, selalu bertanya dalam Bahasa Jawa yang kira-kira artinya.
“Kamu perlu banyak uang untuk ngurusi pondok, kok kamu kasih ke saya?” Biasanya saya jawab sambal tertawa: “Justru karena saya sedang butuh banyak uang, maka saya memberi hadiah ke ibu,” Nasih menambahkan.
Nasih mendoakan aemoga Allah membalasnya minimal 10 kali lipat”. Ia bersikap seolah sedang berdagang dan mencari keuntungan dengan media hadiah yang tidak seberapa kepada ibu. Dan saya membuktikan kebenarannya.
Sebenarnya, awalnya Nasih sangat khawatir dengan sikap ibunya, termasuk ke dalam kedurhakaan kepada orang tua. Sebab, di dalam al-Qur’an hanya ada perintah berbuat baik kepada orang tua, dan di dalam hadits, ditegaskan bahwa di antara dosa besar adalah ‘uquuq al-waalidayn (durhaka kepada kedua orang tua).
Sampai-sampai dirinya harus mencari referensi yang meyakinkan, dan menemukan konsep uquuqun mahmuud (durhaka yang baik). (Syaikh Ibrahim al-Bayjuri, Syarh Tuhafat al-Muriid ‘alaa Jawharat al-Tawhiid, Daru Ihaya’ Kutub al-‘Arabiyyah, hlm. 124).
Ia terkejut di tengah mengajar Tafsir setelah shubuh di Monash Institute Semarang menerima kabar ibunda kembali kepada Allah. Merasa kehilangan tapi kemudian juga langsung gembira karena ibunda meninggal pagi tadi waktu shalat tahajjud.
Sebelum tutup usia, almarhumah, masih mengajar sebagimana biasanya setiap hari membina jama’ah tilawatil qur’an di belasan desa di sekitar desa saya dengan dibonceng motor dan menjenguk saudara samping rumah yang sakit.
“Meninggal dengan mudah dan semoga husnul khaatimah. Aamiin,” Nasih mengakhiri dengan doa terindahnya. (rhm) ***