Jakarta – Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto mengatakan penghapusan Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus pembunuhan Vina dan teman lelakinya, Muhammad Rizky atau Eky di Cirebon oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, terkesan adanya hegemoni aparat penegak hukum tertentu.
“Penghapusan 2 nama dalam DPO kasus Vina terkesan adanya penghegemonian aparat penegak hukum tertentu, ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini”, katanya.
Persoalan ini menurutnya berpengaruh pada kesetaraan hukum.
“Prinsip utama hukum yakni equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum menjadi terancam,” ujarnya.
Adapun dua orang DPO dimaksud adalah Andi dan Dani. Sementara, satu DPO lainnya, yakni Pegi alias Perong telah ditangkap, tak lama setelah film “Vina: Sebelum 7 Hari” tayang di layar lebar.
Rasminto menuturkan, Andi dan Dani masuk DPO berdasarkan putusan pengadilan.
“Yang telah memiliki putusan pengadilan inkrah memicu kontroversi dan sorotan publik, karena akan menunjukkan adanya penghegemonian aparat penegak hukum,” kata Rasminto, Rabu (29/5/2024).
Pakar Geografi Manusia dari Universitas Islam 45 (UNISMA) ini menegaskan, kasus pemerkosaan dan pembunuhan Vina, yang telah melalui proses hukum hingga mencapai putusan tetap seharusnya menegaskan keadilan hukum, tanpa adanya intervensi atau manipulasi.
“Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya indikasi bahwa proses hukum ini tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Rasminto melanjutkan, dalam sistem peradilan, putusan inkrah merupakan tahap akhir dari perjalanan hukum, di mana vonis telah memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diganggu gugat.
Dalam konteks ini, kata dia, penghapusan Andi dan Dani dari daftar DPO menimbulkan tanda tanya besar bagi integritas dan profesionalisme aparat.
“Harusnya 2 nama lainnya dalam DPO jadi PR Polisi dari perintah pengadilan untuk mencarinya, namun tiba-tiba 2 nama dihapus menimbulkan tanda tanya besar tentang integritas dan profesionalisme penegakan hukum,” tuturnya.
Rasminto berpandangan, penghapusan DPO kasus pembunuhan Vina juga memungkinkan adanya intervensi politik atau kepentingan pribadi dari pihak-pihak yang terlibat.
“Sehingga akan terkesan dugaan bahwa aparat hukum terjadi intervensi kepentingan tertentu dengan mengabaikan prinsip profesionalisme dan tanpa mempertimbangkan azas keadilan,” kata dia.
Kasus pembunuhan Vina Cirebon memasuki babak baru, setelah satu dari tiga tersangka berhasil ditangkap Polda Jawa Barat bersama Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri.
Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Vina terjadi Agustus 2016 silam. Remaja Cirebon itu dibunuh bersama kekasihnya, Muhammad Rizky.
Ada 11 pelaku yang diduga terlibat dalam peristiwa tragis tersebut. Namun, teranyar polisi menghapus dua orang dari DPO yang salah satunya adalah putra mantan Bupati Cirebon. Kasus ini kembali mencuat setelah film berjudul “Vina: Sebelum 7 Hari”.***