Bali – Di era globalisasi ini berbagai aspek kehidupan yang terjadi sudah tidak terhindarkan lagi. Keberadaan globalisasi memberikan dampak positif secara signifikan dalam memberikan kemudahan informasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat serta mengubah kehidupan tatanan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat.
Apalah arti berpendidikan tinggi jika ilmu yang dimiliki tidak memberi kemanfaatan bagi orang lain atau masyarakat di sekitarnya. Hal inilah yang mendorong Dr. Ni Komang Anik Sugiani seorang dosen asal Desa Mengening di Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Bali rela mengurbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk pendidikan informal anak-anak desa.
Dia menyebut, apa yang dikerjakannya, sebagai perjalanan hati ‘cinta” karena dengan ketulusan hati itulah, semua bisa dilakukan dalam mewujudkan cita-citanya yakni tidak ingin melihat ada anak-anak di Bali putus sekolah. Terlahir di sebuah desa yang sebelum pemekaran, menjadi salah satu desa kaya dengan hasil alam cengkih, membuat Komang Sugiani memiliki kesempatan bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana S3 atau doktor.
Ya, Komang Anik Sugiani, cukup beruntung, dukungan orangtua mengantarkannya pula sebagai salah satu dosen perguruan tinggi negeri di Bali. Minatnya di pendidikan ditunjukkan dengan disiplin ilmu yang digeluti di bidang pembelajaran.
“Dari S1 sampai S3, saya mengambil disiplin teknologi pembelajaran, agar tetap linier,” ucapnya saat bincang santai dengan wartawan peserta Anugerah Pewarta Astra 2023 yang dipandu Penakita.com, baru-baru ini melalui zoom.
Menurutnya, teknologi pembelajaran akan terus berkembang sehingga jurusan dipilih merupakan satu paket kesatuan yang nantinya akan bisa dilaksanakannya. Komang Anik Sugiani kemudian berbagi kisah, bagaimana berkat dedikasi dan semangat menginspirasi masyararakat yang terus ditularkan membuat dirinya meraih nominasi penerima anugerah SATU Indonesia Award 2021 untuk tingkat provinsi.
Baginya, membantu orang lain, tidak hanya cukup berwacana namun lewat aksi nyata. Kesulitan yang dialami oleh orang lain, kita tidak perlu menunggu memiliki materi yang cukup, namun membantu bisa melalui tenaga, pikiran dan apa saja. Demikian juga dalam menyelesaikan persoalan pendidikan yang menjadi perhatiannya, tidak cukup sekadar basa basi apalagi pencitraan.
“Pendikan itu bukan basa basi, bukan pencitraan, tetapi harus ada tindakan nyata,” ucap dosen Politeknik Undiksha Singaraja.
Hal itu yang dilakukan Komang Anik Sugiani bersama-teman-temannya dalam merancang program pendidikan informal di kampung halamannya. Berawal saat pandemi Covid-19, sekitar tiga tahun silam, program pendidikan di pedesaan dilatarbelakangi, banyaknya anak putus sekolah. Para orangtua karena masalah ekonomi, berdampak pada anak-anak mereka yang tertinggal pendidikannya.
“Kami awalnya berlima, sering bergerak bersama, namun kini hanya bertiga saja karena ada teman yang kemudian menikah dan tinggal di lain desa,” kenang Komang Anik Sugiani.
Meski dengan keterbatasan kekurangan sumber daya, program pendampingan anak-anak putus sekolah di desa terus berjalan. Beruntung tokoh masyarakat lainnya perlahan memberi dukungan kepada upaya Komang Anik Sugiani dan teman-temannya. Mulailah program Taman Pintar yakni pendidikan gratis bagi ana-anak putus sekolah disusun dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang terbentur biaya sekolah.
Dibuatlah ide, metode pendidikan anak-anak diganti dengan penukaran hasil pengumpulan sampah-sampah, pendidikan diberikan sesuai minat siswa seperti mengolah sampah menjadi produk bernilai ekonomi. Di Taman Pintar didirikan Tahun 2016, anak anak belajar diluar jam sekolah untuk peduli terhadap lingkungan.
“Anak-anak dilatih gratis, hanya membayar dengan sampah plastik yang berhasil dikumpulkan, dikelola oleh Bank Sampah“, ungkap Komang Anik Sugiani.
Setiap orang yang mengajar disini gratis, kendala kami ada anak-anak yang gabung putus sekolah, karena tidak bisa membayar uang pakaian sekolah.
Tahun 2020, lembaganya Social Project Jyoti berganti Yayasan Project Jyoti Bali (YPJB) yang merupakan komunitas anak SMA atau yang tidak mampu sekolah SD dan SMP. Mereka yang diasuh YPJB diberikan pelajaran mengolah sampah mulai membuat Bata ramah lingkungan, Eco Enzyme hingga bantal alas duduk.
Mereka para siswa mendapatkan ilmu pengetahuan melalui pembelajaran pelatihan dan uang saku, perlengkapan sekolah serta sembako. Pihaknya terus menggalang dukungan meskipun tetap dirasa masih kurang. Belum lagi, tidak sedikit orangtua yang belum percaya dengan kegiatan-kegiatan yang masih sebatas digerakkan komunitas.
Beberapa lama setelah mengenal platform media sosial, barulah kendala demi kendala bisa teratasi setelah enam bulan yakni kekurangan tenaga relawan atau volunter.
“Ketika sudah aktif di sosial media, kendala kami terpenuhi anak muda beberapa kampus jadi tutor,” imbuh Komang Sugiani.
Kegiatan pembelajaran gratis anak putus sekolah yang diinisiasi Komang Anik Sugiani semakin dikenal luas. Beberapa funding atau donator berdatangan sampai puncaknya mendapat apresiasi Astra SATU Indonesia Award, sebagai tokoh muda desa yang menginspirasi.
Lewat kesungguhannya, Komang Anik Sugiani mampu meyakinkan banyak pihak hingga bersedia mengucurkan dana CSR untuk program pendidikan gratis di desanya melalui Yayasan Project Jyoti Bali (YPJB) yang didirikannya.
Berkat dukungan dari berbagai pihak itulah anak-anak putus sekolah yang diasuh sebanyak awalnya 2019 tercata 124 siswa hingga berkurang menjadi 74 anak. 32 diantaranya berasal dari keluarga kurang mampu di tiga desa sekitar.
Sebagian sudah tamat dan bekerja di berbagai tempat, tinggal 74 orang anak siawa aktif mereka dari TK sampai SMA, dari 3 Desa Mengening, Bila dan Tajun.
Umumnya mereka yang lulus dari YPJB dan sekolah formal akan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Yang membanggakan, anak-anak asuhnya yang mengikuti pembelajaran gratis cukup banyak yang berprestasi di sekolahnya,
“Dari awalnya malu-malu, anak-anak kami sudah mulai berinteraksi baik, yang membanggakan dari Taman Pintar, anak-anak bisa menjadi juara di sekolahnya, hal ini diakui oleh sekolah dan orangtua,” sambungnya.
Pembelajaran gratis di Desa Mengening kemudian terus berkembang semakin banyak kegiatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan anak-anak putus sekolah secara berkelanjutan. Anak-anak didik di YBJB, mendapat pelajaran non formal di luar jadwal sekolah mulai Senin – Sabtu jam 16.00 Wita sampai 18.00 dan Hari Minggu dari pkl 09.00 – 13.00 Wita.
Umumnya mereka yang lulus dari YPJB dan sekolah formal melanjutkan ke perguruan tinggi. Sangat membanggakan, anak-anak asuhnya yang mengikuti pembelajaran gratis cukup banyak yang berprestasi di sekolahnya.
Meski semua pengurbanan waktu, tenaga, materi sudah didedikasikan untuk masa depan anak-anak di desa, namun Komang Anik Sugiani, merasa belum cukup. Dia ingin mengajak semua lebih peduli terhadap pendidikan anak-anak khususnya yang putus sekolah.
Sebagai umat beragama, dirinya percaya karma pala, siapa yang menanam kebaikan akan meraih hasil kebaikan demikian juga sebaliknya.
“Hasil tidak akan mengkhianati usaha, ini perjalanan hati saya,” tutupnya.***