Pernyataan Sikap KOHATI HMI Cabang Denpasar Tentang Peristiwa Sakral pengukuhan Paskibraka Nasional

Momen sakral pengibaran sang saka merah putih bukan hanya menjadi simbol kemerdekaan negara tetapi juga kemerdekaan setiap individu

Denpasar-Tindak Tegas BPIP terhadap Pelanggaran Konstitusi dan Pancasila dalam Peristiwa Sakral Pengukuhan Paskibraka Nasional

Momen sakral pengibaran sang saka merah putih bukan hanya menjadi simbol kemerdekaan negara tetapi juga kemerdekaan setiap individu yang hari ini direnggut oleh lembaga negara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kohati HMI Cabang Denpasar, Bali bersikap tegas dan mengecam BPIP yang telah melarang penggunaan hijab bagi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Putri.

BPIP yang seharusnya mencerminkan pancasilais justru menjadi terduga utama yang melunturkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Tekanan struktural dengan pilihan terbatas antara menjalankan keyakinan atau mengemban tugas negara bukanlah kesepakatan atas kesukarelaan melainkan kepatuhan yang terpaksa. Kebebasan individu dalam mengekspresikan keyakinan agama tidak bisa dinegosiasikan dalam bentuk apapun, pelarangan tersistematis tersebut telah melanggar asas Ketuhanan dan merenggut Hak Asasi Manusia.

Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang Paskibraka telah menghapuskan poin 4 pada Lampiran Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 BAB VII tentang Tata Pakaian dan Sikap Tampang Paskibraka yang mengatur terkait ketentuan putri berhijab.

Penghapusan ketentuan tersebut menjadi dasar tidak diperbolehkan Paskibraka putri menggunakan hijab (ciput warna hitam) atas dalih keseragaman.

“Pembelaan yang dilakukan oleh Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. selaku Kepala BPIP tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun termasuk bertameng pada regulasi surat keputusan Kepala BPIP yang telah dilegalkan olehnya. Terlebih didukung dengan latar belakang beliau yang seharusnya sangat paham tentang agama dan syariat islam.

Nilai luhur Bhineka Tunggal Ika mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi keberagaman dalam persatuan, bukan keseragaman dalam persatuan. Menyamakan seragam tidak boleh sampai menggadaikan identitas agama apalagi merenggut Hak Asasi Manusia” ujar Sahara Putri selaku Ketua Umum Kohati HMI Cabang Denpasar.

Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 telah melanggar asas lex superior derogate legi inferiori dimana peraturan tersebut bertentangan dengan tata aturan yang lebih tinggi di atasnya sebagai berikut.
a. Pasal 29 UUD 1945
Pasal 1
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
b. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun
Pasal 22
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan
kepercayaannya itu.

Oleh karena itu, Kohati HMI Cabang Denpasar, Bali dengan ini menuntut kepada
pemerintah:

  1. Mencopot Jabatan Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. dan
    memberikan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku atas pelanggaran terhadap
    konstitusi dan dasar negara Pancasila.
  2. Mendorong Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk mengeluarkan Instruksi Presiden
    (Inpres) dalam menangani kasus ini sehingga peristiwa sakral pengibaran bendara merah putih pertama kali di Ibu Kota Negara (IKN) nanti tepatnya pada 17 Agustus 2024 tidak terciderai dengan peristiwa inkonstitusi dan lunturnya nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika.
  3. Atensi tehadap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
    (PPPA) untuk memberikan dukungan sosial dan psikologis terhadap 18 Paskibraka
    Putri yang mendapatkan sikap intoleransi, diskriminasi, dan tekanan psikis. ***

Berita Lainnya

Terkini