PLN Tidak Matang Kalkulasi Kebutuhan Periodik Picu Larangan Ekspor hingga Kelangkaan Batubara

Cepatnya tanggapan Kementerian ESDM, tentu mengundang tanda tanya bagi sebagian besar pemangku kepentingan (stakeholder) dan publik pada umumnya, ada apakah dengan pasokan batubara, seketika akan mengalami kelangkaan?

4 Januari 2022, 09:21 WIB

Kemudian, kalau terjadi pelarangan ekspor batubara tersebut, bagaimana halnya dengan penerimaan devisa negara, tentu juga akan terganggu kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan dalam meningkatkan devisa dari penerimaan ekspor minerba ini.

Publik sepakat, kalau kebijakan pelarangan ekspor yang diambil oleh Kementerian ESDM terkait surat Dirut PLN adalah untuk mengutamakan kepentingan pasokan domestik, terutama untuk konsumsi pembangkit listrik milik PLN.

Sebab, jika hal ini tidak dipenuhi maka kelangkaan batubara akan mengakibatkan pasokan listrik kepada industri dan konsumen Rumah Tangga akan terganggu dan berpotensi terjadinya pemadaman setiap hari.

Presiden Jokowi Lanjutkan Kebijakan Stop Ekspor Bahan Mentah Minerba

Meski demikian, lanjut Defiyan, yang menjadi pertanyaan pula bagi publik atas penyebab kelangkaan pasokan batubara yang disinyalir mengantisipasi keluarnya batubara ke pasar luar negeri disebabkan harganya yang lebih kompetitif.

Artinya, jajaran Direksi PLN selama ini tidak melakukan perhitungan (kalkulasi) yang matang terhadap kebutuhan periodik yang harus disiapkan, apalagi terkait dengan kontrak perjanjian jual beli batubara dengan para pengusaha batubara yang cenderung mencari keuntungan.

Selain itu, sebagai pemegang amanah Presidensi G20 (Group of Twenty/kelompok negara maju) dan wujud dari komitmen COP26 yang mengharuskan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, Presiden Joko Widodo harus mampu memainkan peranan pentingnya.

Peduli Anak Autis, PLN Bagikan Bantuan ke Yayasan Sehati Bali

Hal ini mengingat, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya menggunakan batu bara, disatu sisi.

“Pada sisi yang lain, pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang harus ditindaklanjuti terkait COP26 masih belum dapat diandalkan untuk menghasilkan listrik,” imbuh alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Berdasarkan data yang dipublikasikan PLN, pada Tahun 2019 dari segi kapasitas terpasang PLTU masih mendominasi sekitar hampir 44 persen untuk menghasilkan listrik. Sementara itu, disegmen EBT, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) kontribusinya hanya sekitar 8 persen, kemudian diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kontribusi hanya sekitar 3 persen.

Gandeng PLN, Dinas Pertanian dan Pangan Badung Hijaukan Desa Adat Sobongan

Sedangkan dari sisi produksi listrik, PLTU justru menyumbang lebih besar lagi, yaitu sekitar 61 persen. Dan, segmen EBT, PLTA hanya menyumbang 5 persen, serta PLTP hanya sekitar 2 persen dari produksi listrik dalam negeri.

“Lantas, dengan posisi seperti ini bagaimanakah kepentingan Presiden Joko Widodo menyelamatkan postur APBN dan keuangan negara atas kebijakan larangan ekspor batubara tersebut terkait dengan potensi devisa bagi penerimaan negara di satu sisi,” sambung Defiyan Cori.

Sementara itu, pada sisi yang lain sebagai pemegang mandat Presidensi G20 Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen bagi pelaksanaan agenda perubahan iklim (climate change) yang baru saja disepakati dalam pertemuan tingkat tinggi pada tanggal 31 Oktober-12 November 2021 lalu di Glasgow, Skotlandia. ***

Berita Lainnya

Terkini