Polemik Ambalat: 20 Tahun Tak Temukan Titik Terang, Ini Kata Pakar UGM

Paakar hukum laut internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. I Made Andi Arsana, menilai akar masalah sengketa Ambalat adalah ketiadaan kesepakatan batas laut antara kedua negara, terutama di bagian timur Pulau Kalimantan.

11 Agustus 2025, 16:46 WIB

Yogyakarta -Pakar hukum laut internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. I Made Andi Arsana, akar masalahnya adalah ketiadaan kesepakatan batas laut antara kedua negara, terutama di bagian timur Pulau Kalimantan.

Sengketa perbatasan laut antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat kembali menjadi sorotan. Meskipun sempat mereda setelah ketegangan pada tahun 2005, persoalan perbatasan maritim di Laut Sulawesi ini ternyata belum menemukan titik terang hingga kini.

“Batas darat Indonesia dan Malaysia sudah jelas, memisahkan Pulau Sebatik. Tapi sayangnya, garis batas itu berhenti di pantai dan tidak dilanjutkan ke laut,” ujar I Made pada Senin (11/8/2025).

Ia menjelaskan, Indonesia sebenarnya pernah mengusulkan agar garis batas itu diteruskan ke arah timur pada lintang 4 derajat 10 menit. Namun, usulan tersebut tidak pernah disepakati oleh Malaysia. Akibatnya, sejak tahun 1960-an, Indonesia melakukan klaim sepihak melalui konsesi migas, termasuk Blok Ambalat pada 1999.

Malaysia kemudian mengklaim wilayah yang sama lewat “Peta Batu 1979” dan membagi blok ND6 serta ND7 pada tahun 2005, yang tumpang tindih dengan klaim Indonesia.

Ketegangan pada 2005 dipicu oleh tumpang tindih klaim ini. “Sampai sekarang, tumpang tindih klaim masih terus terjadi karena belum ada kesepakatan. Masing-masing negara bersikukuh pada posisi mereka,” imbuhnya.

Faktor lain yang memperumit masalah adalah keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 yang memenangkan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan.

Menurut  Made  Sandi Arsana, Indonesia berpandangan bahwa kedua pulau tersebut hanya berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut, bukan wilayah maritim yang lebih luas.

“Malaysia tetap pada posisi sejak 1979, sementara Indonesia punya pandangan berbeda. Maka, area tumpang tindihnya cukup luas, termasuk Ambalat, Ambalat Timur, ND6 dan ND7,” jelas  Made Sandi Arsana yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Departemen Teknik Geodesi, FT UGM.

Ia menekankan bahwa solusi ideal adalah kesepakatan batas maritim yang final dan permanen.

Meski begitu, opsi kerja sama dalam mengelola wilayah yang tumpang tindih juga bisa menjadi pertimbangan, seperti yang sempat dibahas dalam pertemuan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Juli lalu.

“Penyelesaiannya sampai sekarang belum ada. Namun, yang paling penting adalah Indonesia dan Malaysia harus tetap rukun. Bangsa serumpun ini tidak boleh terpecah hanya karena garis batas yang belum jelas,” pungkasnya.***

Berita Lainnya

Terkini