Praktisi Pariwisata Khawatirkan Proyek Terminal LNG Benoa

22 Desember 2014, 18:23 WIB
Ketua Perhimpunan Hotel Restoran (PHRI) Kota Denpasar Ida Bagus Gede Siddhaarta Putra @2014

DENPASAR – Kalangan praktisi pariwisata mulai mengkhawatirkan dampak negatif dari proyek Terminal Liqeulied Natural Gas (LNG) di Pelabuhan Benoa, Denpasar karena bisa mengancam keberadaan fungsi pariwisata di Bali Selatan..

Berbagai dampak proyek LNG yang dikhawatirkan mulai aspek fungsi pariwisata, sosial ekonomi hingga lingkungan di sekitarnya. Belum lagi, menilik lokasi proyek berada di kawasan Hutan Mangrove serta di pelabuhan yang difungsikan untuk menopang pariwisata Bali.

“Kami tidak memungkiri Bali akan mendapat support energi yang besar, harus diakui, ketika masyarakat daerah lain sampai antre BBM, di Bali relatif lancar pasokan energinya,” ujar Ketua Perhimpunan Hotel Restoran (PHRI) Kota Denpasar Ida Bagus Gede Siddhaarta Putra kepada wartawan Senin (22/12/2014).

Kendati begitu, harus disadari bahwa denyut nadi Pulau Bali sangat ditentukan keberlangsungan dunia keperiwisataan yang terkonsentrasi di Bali Selatan. Terkait pembangunan Terminal LNG di kawasan Pelindo III Benoa, yang menjadi tempat menyuplai energi bagi PLTG Pesanggaran, pihaknya meminta semua pihak, melakukan kajian lebih matang.

Jangan sampai, kemudian pembangunan sebuah proyek baik energi atau lainnya, masyarakat atau pemerintah setempat tidak tahu menahu. Untuk itu, pihak terkait seperti Kementerian Pariwisata dan kalangan pariwisata juga dilibatkan atau diajak bicara duduk bersama.

Ruang komunikasi dan koordinasi harus dibuka lebar, jangan ada arogansi pemerintah atau BUMN yang mengerjakan proyek besar itu. Apalagi, sampai tidak mengindahkan masukan dan pertimbangan dari pemerintahan daerah dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar.

Pria yang disapa Gusde ini mengingatkan, keberadaan Pelabuhan Benoa sesuai peruntukan yang telah ditetapkan, diantaranya berfungsi pelabuhan pariwisata atau wisata cruise dan penumpang. Dilihat sejarahnya, maka Bali selatan yang dikembangkan sebagai daerah pariwisata harus tetap dijaga dipertahankan, sehingga berbagai kebijakan harus sejalan mendukung pariwisata. 

Jika kemudian ada, pengembangan seperti untuk kegiatan lain seperti utility energi yang biasanya di beberapa negara berada pinggiran pelabuhan, maka untuk Bali perlu dicarikan alternatif. “Bagi kami praktisi pariwisaya, biarkan Bali Selatan termasuk di Pelabuhan Benoa, tetap menjadi daerah tujuan pariwisata,” tegas owner Hotel Puri Santrian Sanur  itu.

Sulit membayangkan, ketika di pelabuhan pariwisata seperti Benoa, kemudian disesaki dengan lalang kapal-kapal tongkang atau tanker berukuran besar untuk menyuplai energi. Padahal, masih ada lokasi lainnya yang bisa dijadikan alternatif pembangunan terminal LNG sebut saja di Pelabuhan Amuk Karangasem atau di Celukan BAwang Singaraja.

Selain menciptakan kekroditan tersendiri, juga dari aspek estetika, aktivitas seperti itu kurang mendukung kenyamanan wisatawan yang baru keluar dari kapal cruise. Gusde melihat, selama ini ada kelemahan dari sisi zonasi yang tidak jelas bagi peruntukan suatu wilayah. Banyak lokasi yang tidak sesuai peruntukan, kemudian dipaksakan untuk berbagai kegiatan berdalih pembangunan.

Harus segera dilakukan penataan ulang, disesuikan Rencana Tata Ruang Wilayah ataupun masterplan kota sehingga pembangunan yang dilakukan tidak bertabrakan satu sama lain karena tidak jelasnya peruntukan. “Bagi saya, Pelabuhan Benoa secara bertahap sudah harus difokuskan menjadi port tourism, yang terkonsentrasi pada pariwisata,” tandas Wakil Ketua Bidang Organisasi PHRI Bali itu. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini