Proses Alih Kelola Blok Rokan dari Chevron Dinilai Kemahalan dan Tidak Logis

26 April 2021, 10:35 WIB

ilustrasi/Dok. Pertamina.com

Jakarta – Harga yang ditetapkan dalam proses lelang pembangkit listrik
milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) di Blok Rokan dinilai sangat
mahal atau kemahalan.

Jika kondisi ini dibiarkan, Badan Usaha Milik Negara akan mengalami kesulitan
yang fatal dan mengarah kepada penurunan kinerja berkelanjutan.

Salah satu kasus lain yang tak tak wajar dihadapi, yaitu proses alih kelola
Blok Rokan dari PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang akan berlangsung pada
tanggal 8 Agustus 2021, dan tentu saja ada beberapa harta kekayaan (asset)
akan berpindah tangan.

“Termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) North Duri Cogeneration (NDC),”
ungkap Ekonom Konstitusi Defiyan Cori dalam keterangan tertulis, Senin
(26/4/2021).

Ada proses pelelangan yang telah berlangsung dan mengundang tanda tanya besar
serta bisa menjadi polemik publik.

Adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui Direktur Niaga dan Manajemen
Pelanggan Bob Syahril menilai harga yang ditetapkan dalam proses lelang
pembangkit listrik milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) di Blok Rokan
sangat mahal atau kemahalan.

Harga ditetapkan pihak pengelola lelang, yaitu sebesar US$ 300 juta atau
setara Rp4,35 Triliun (US$1 = Rp14.500), padahal saat pembelian pada 20 tahun
yang silam harganya hanya sebesar US$ 190 juta.

Ada selisih yang menaik sekitar US$110 juta, wajarkah peralatan lama dengan
usia pemakaian puluhan tahun lebih tinggi nilainya?

“Atas ketidaklogisan harga dan ketidakwajaran proses lelang peralatan
menjelang alih kelola Blok Rokan itu, Defiyan menyampaikan nilai buku dan
teknis peralatan PLTG NDC itu tentu sudah susut dan penyusutannya sangat bisa
dihitung secara akuntansi berdasar jangka waktu pemakaiannya selama hampir 20
tahun.

“Kontrak MCTN tentu terikat dengan CPI dan kalau telah berakhir otomatis harta
kekayaan (asset) nya menjadi milik negara,” katanya.

Lantas, kenapa ada proses tender, kemana dana pengembalian biaya operasi yang
telah dikeluarkan oleh kontraktor migas selama cadangan belum ditemukan hingga
diproduksi secara komersial (cost recoverynya)?

Kelihatan ada faktor kesengajaan melakukan tindakan wan prestasi kontraktual
dan tidak mungkin dilakukan CPI dan MCTN yang selama ini dikenal sebagai
perusahaan minyak bumi dan gas dunia yang kredibel dan berintegritas tanpa ada
campur tangan pengambil kebijakan di pemerintahan, dan untuk itu aparat hukum
harus melakukan investigasi.

Akibat kelalaian mengantisipasi proses alih kelola dengan membiarkan pasokan
listrik untuk memproduksi minyak mentah (crude oil) Blok Rokan terhenti atau
dihentikan, selain mengganggu jalannya perekonomian bangsa juga merugikan
keuangan negara.

“Potensi kehilangan penerimaan itu tak hanya penjualan rata-rata dari US$60
per barrel di hulu dengan produksi 165.000 barrel per hari, tapi juga
penerimaan disektor hilir akan terganggu,” sambung Defiyan.

Proses alih kelola Blok Rokan sebagai harta kekayaan dari Sumber Daya Alam
(SDA) cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ini
harus menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo.

“Sebab, apabila terjadi pembiaran, maka berpotensi mengganggu stabilitas
ekonomi dan politik jalannya perekonomian bangsa dan negara, rakyat banyak
yang dirugikan,” tutup Defiyan. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini