DENPASAR– Ancaman nyata bahaya paparan asap rokok mengelilingi anak-anak dan generasi muda menyusul hasil sebuah survei diketahui dalam jarak radius 250 meter setiap sekolah di Denpasar Bali setidaknya terdapat 10 penjual rokok.
Hasil dari banyak studi menunjukkan bahwa perilaku merokok di kalangan anak anak dan remaja berhubungan erat dengan kepadatan penjual rokok yang lokasinya berdekatan dengan sekolah atau rumah hunian.
Iklan dan promosi rokok di tempat penjualan tersebut juga disinyalir berkontribusi meningkatkan inisiasi merokok di kalangan anak muda serta menghambat upayaberhenti merokok para perokok aktif.
Berangkat dari itulah Kolaborasi penelitidari University of Sydney-Australia, Universitas Udayana-Bali, dan Universitas Airlangga-Banyuwangi didanai Australia-Indonesia Centre (AIC) Health Cluster, melakukan pemetaan distribusi retailer rokok dan audit iklan dan promosi rokok di tempat penjualan di Kota Denpasar Bali.
Penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2017 hingga Maret 2018 di Kota Denpasar, Bali, bertujuan memetakan kepadatan retailer rokok yang lokasinya berdekatan dengan rumah hunian dan sekolah. Studi ini juga bertujuan menganalisa iklan dan promosi rokok baik di dalam dan di luar toko-toko tersebut.
Tim peneliti berhasil memetakan 4.114 penjual rokok (tidak termasuk restauran dan hotel), dengan kepadatan penjual rokok sebesar 32,2/km2.
Terdapat sekitar 5 penjual rokok untuk tiap 1000 penduduk. Sebagian besar, 367 dari total 379 sekolah yang ada di Denpasar, ditemukan setidaknya 1 penjual rokok dalam jarak 250 meter dari sekolah.
“Secara rata-rata sebanyak 10 buah penjual rokok ditemukan dalam radius ini, bahkan ada 1 sekolah dengan 44 penjual rokok dalam jarak 250 meter dari sekolah,” sebut Dr Ayu Swandewi Astuti selaku ketua tim peneliti dalam rilis Kamis (26/4/2018)
Disamping itu pada 674 dari total 1000 penjual rokok yang diobservasi, ditemukan setidaknya 1 jenis iklan di bagian luar toko dan pada hampir semua penjual yaitu 989 penjual terdapat iklan termasuk display rokok di bagian dalam toko.
Penelitian ini, berdampak penting mengingat Indonesia menduduki peringkat keempat untuk negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia dimana jumlah perokok dewas amencapa i65,2 juta jiwa.
Walau mayoritas perokok adalah laki-laki dewasa, data menunjukkan kenaikan signifikan perokok remaja (usia 10-14 tahun) dari 9% pada tahun 1995 menjadi 17,4% padatahun 2010.
Meningkatnya prevalensi merokok di kalangan anak muda akan berdampak pada beban kesehatan, sosial dan ekonomi masa mendatang.
Walau diberlakukan pelarangan penjualan rokok pada anak-anak di bawa humur yang sampai saat ini juga belum ditegakkan dengan optimal.
![]() |
Dr Ayu Swandewi Astuti (kiri) bersama tim memaparkan hasil penelitiannya dalam workshop |
Kata dia, peraturan pengendalian rokok belum menyentuh upaya menanggulangi permasalahan terkait distribusi dan pasokan rokok (supplier) khususnya yang dapat dijangkau anak-anak dan remaja baik di lingkungan perumahan maupun di institusi pendidikan (sekolah).
“Keberadaan penjual rokok di berbagai tempat menunjukkan kalau rokok itu sangat mudah dijangkau dan merupakan produk yang diterima dalam norma soial masyarakat,” tegas Ayu.
Karenanya, yang menjadi kunci sukses dari pengendalian tembakau adalah mengubah norma sosial seputaran perilaku merokok dan memastikan kalau merokok dipandang sebagai perilaku yang tidak baik terutama di kalangan ank muda.
Ayu menyebutkan, penjual rokok di Denpasar sangat padat. Salah satu sekolah dalam penelitian ini dikelilingi oleh 44 penjual rokok, membuat upaya melindungi anak-anak dari promosi rokok menjadi sangat sulit.
Perusahaan rokok menyampaikan kalau mereka tidak menyasar anak-anak tapi praktek pemasaran mereka tidak sesuai dengan pidato mereka.
“Jika pemerintah tidak mau meningkatkan upaya pengendalian tembakau termasuk mengatur tempat penjualan rokok, maka mimpi untuk menciptakan generasi Indonesia yang bebas rokok tidak akan pernah terwujud,” demikian Ayu. (rhm)