Kabarnusa.com – Pantun yang dibacakan sekretaris kota (Sekkot) Denpasar AAN Rai Iswara yang menuai polemik karena dinilai bentuk penggiringan dukungan ke calon incumbent dalam Pilwali di KOta Denpasar sangat disesalkan banyak pihak.
Rai Iswara membacakan pantun, saat apel perpisahan walikota dan wakil walikota Denpasar dengan seluruh SKPD di lapangan Lumintang beberapa waktu lalu yang kemudian menyulut kontroversi
Menurut Pengamat hukum Tata Negara Universitas Udayana, Prof. Dr. Yohanes Usfunan, pantun yang dibacakan Rai Iswara yang dinilai sebagai pernyataan dukungan kepada calon incumbent Rai Mantra-Jaya Negara, sangat tendensius, apalagi dibacakan sebagai pembina PNS.
“Tendensius sekali. Walaupun (Rai Mantra-Jaya Negara) belum ditetapkan secara resmi (oleh KPUD Kota Denpasar) tapi sudah mendaftar. Pernyataan itu memang berpihak,” tandasnya kepada wartawan Rabu 12 Agustus 2015.
Pernyataan itu sangat disesalkan kalau dilihat dari netralitas PNS. Apalagi dia sebagai sekda, pembina pegawai negeri di Kota denpasar.
“Sebagai pembina, pernyataan itu sangat tendensius. Itu tidak boleh. Karena pernyataan itu menunjukkan dukungan kepada seseorang,” ujar Usfunan.
Menurut dia, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS ditegaskan prinsip netralitas PNS.
Prinsip netralitas itu, mengandung arti bahwa aparatus sipil negara tidak boleh mendukung siapapun dalam pilkada.
“Kalau mau pilkada yang jurdil, mau tidak mau tidak boleh ada pernyataan seperti itu. Pernyataan itu bagi saya sangat disesalkan. Sebagai pemimpin tidak layak hal itu diucapkan (oleh Rai Iswara). Apalagi namanya (walikota dan wakil walikota disebut) disebut,” tegas Usfunan.
Kini, kasus pantun Rai Iswara ini kini bergulir di Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta. Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) provinsi Bali meneruskan laporan Made Arjaya soal pantun itu ke Komisi ASN. Nasib Rai Iswara kini berada di komisi ASN itu. (kto)