Royalti Musik: Menghubungkan Karya, Usaha, dan Budaya

Perdebatan tentang royalti musik bukan sekadar perselisihan hukum, melainkan sebuah cermin bagaimana sebagai bangsa menghargai kreativitas.

10 Agustus 2025, 20:47 WIB

Perdebatan tentang royalti musik yang belakangan ini mengemuka bukan sekadar perselisihan hukum, melainkan sebuah cermin tentang bagaimana kita sebagai bangsa menghargai kreativitas.

Kasus hukum yang melibatkan penyanyi Agnez Mo dan pencipta lagu Ari Bias telah memicu diskusi luas, memperlihatkan dinamika antara perlindungan hak cipta dan keberlangsungan usaha.

Di satu sisi, Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak cipta sebagai bentuk menjaga martabat karya.

Di sisi lain, Koalisi Artis Musik Indonesia (KAMI) menyuarakan kekhawatiran bahwa penerapan aturan royalti dapat menambah beban bagi pelaku industri, khususnya usaha kecil. Perbedaan pandangan ini memperlihatkan bahwa ekosistem musik memerlukan ruang dialog yang sehat, bukan sekadar ruang debat.

Dampak pada Usaha Kecil
Kekhawatiran pelaku usaha kafe dan restoran tampak nyata. Ada yang memilih mengganti lagu-lagu Indonesia dengan musik instrumental atau lagu internasional.

Ada pula yang menghentikan pemutaran musik sama sekali demi menghindari risiko hukum. Perubahan ini berdampak pada suasana—tempat yang dulunya hidup dengan alunan lagu kini menjadi lebih hening.

Namun, langkah menghindar ini sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa hampir semua bentuk rekaman, termasuk lagu internasional atau suara alam, memiliki hak terkait. Indonesia pun terikat kerja sama internasional dalam sistem pembayaran royalti lintas negara.

Royalti: Bukan Beban, Melainkan Kontribusi

Narasi yang menyebut bahwa kewajiban royalti mematikan usaha kecil sering kali lahir dari kurangnya pemahaman. Royalti bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan kontribusi nyata untuk memastikan para pencipta lagu dapat terus berkarya. Tarif royalti di Indonesia bahkan tergolong rendah dibandingkan banyak negara lain.

Membayar royalti adalah bentuk dukungan langsung pada ekosistem musik lokal. Lagu yang diputar di kafe, restoran, atau ruang publik adalah hasil kerja kreatif yang layak mendapat penghargaan, sebagaimana kita menghargai kopi yang disajikan atau hidangan yang dinikmati.

Membangun Solusi Bersama
Agar aturan ini tidak menjadi penghalang, perlu ada jembatan antara musisi, pemerintah, dan pelaku usaha. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

Paket Lisensi Terjangkau untuk usaha kecil, sehingga pembayaran royalti terasa ringan.

Program Musik Lokal Sahabat Usaha, yang memberi identitas positif bagi kafe dan restoran yang memutar musik berlisensi.

Edukasi Publik melalui cerita inspiratif: bagaimana royalti membantu musisi membiayai produksi lagu baru atau konser.

Sistem Pembayaran Sederhana, yang memudahkan pelaku usaha membayar royalti tanpa birokrasi rumit.

Dengan pendekatan ini, royalti menjadi simbol kemitraan, bukan sekadar aturan yang ditakuti.

Suara Masyarakat dan Peluang Perubahan

Banyak pengunjung kafe merasa kehilangan sentuhan emosional saat lagu-lagu Indonesia tak lagi terdengar. Musik lokal adalah identitas budaya yang bisa menghidupkan suasana, membangkitkan kenangan, dan menginspirasi.

Di sinilah peran bersama kita: membantu ekosistem musik tumbuh sehat dengan dukungan yang adil. Saat usaha kecil merasa dilibatkan, musisi merasa dihargai, dan masyarakat menikmati karya, kita sedang membangun lingkaran kebaikan yang berkelanjutan.

Penutup: Kesadaran yang Menguatkan

Royalti musik bukan hanya soal angka dan aturan, melainkan tentang kesadaran kolektif untuk menghargai karya, mendukung kreativitas, dan menjaga warisan budaya. Ketika kita memutar lagu dengan lisensi sah, kita sedang mengatakan kepada para pencipta, “Kami mendengar, kami menghargai, dan kami ingin kamu terus berkarya.”

Dengan kesadaran ini, musik kembali menjadi jembatan yang menghubungkan hati, usaha, dan budaya—bukan sekadar latar suara, tetapi napas yang menghidupkan ruang publik kita. (*)

*Iwan Gunawan alumnus Fisipol UGM, anggota KAHMI

Berita Lainnya

Terkini