Sekolah Belum Menjadi Ruang Publik Pertemukan Keberagaman Siswa

11 September 2017, 06:51 WIB
ilustrasi/net

JAKARTA – Menguatnya sikap intoleransi terutama di kalangan pelajar SMA kian menunjukkan bukti bahwa sekolah belum bisa menjadi ruang publik untuk mempertemuan keberagaman bagi siswa.

Kondisi itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Menilik hasil sejumlah survei dilakukan pascareformasi menunjukkan kecenderungan sikap intoleran semakin menguat di sekolah-sekolah, terutama sekolah negeri.

Jika kondisi ini dibiarkan, tentu akan menjadi ancaman bagi demokrasi di masa depan. Karena sejatinya demokrasi membutuhkan sikap toleran pada perbedaan, penghargaan pada kemanusian apapun latar belakang dan kemampuan mengolah perbedaan keyakinan pada ruang privat, bukan wilayah publik.

Hal ini perlu perhatian semua pihak, terutama para pendidik agar sikap radikal dan intoleran tidak terus menguat. Kemampuan membaca kondisi sosial hari ini dan mengintegrasikan dalam kurikulum pendidikan diperlukan agar pendidikan menjadi kontekstual, dan menumbuhkan daya kritis.

Media mempunyai peran agar sikap radikal tidak semakin menguat karena survei menunjukkan media dengan konten radikal atau sekedar menyajikan fakta radikal tanpa mampu memberikan pendidikan yang baik bagi pembacanya, menjadi penguat sikap radikal dan intoleransi siswa.

Penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga anti-terorisme menunjukkan kalangan siswa sangat rentan terpapar paham radikal.

Tahun lalu, survei yang dilakukan SETARA Institute terhadap siswa SMA di Jakarta dan Bandung menunjukkan 2,4 persen siswa masuk dalam kategori intoleran aktif atau radikal dan 0,3 persen siswa berpotensi menjadi teroris.

Demikian juga, survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. Hasilnya mencengangkan. Lembaga ini menemukan sebanyak 48,9 persen siswa bersedia terlibat aksi kekerasan yang terkait dengan agama dan moral.

Survei yang dirilis 2011 silam ini juga menunjukkan sebanyak 63,8 persen siswa bersedia terlibat dalam penyegelan rumah ibadat penganut agama lain.

Untuk itu, tantangan yang harus dijawab pemerintah adalah sekolah yang semakin terkotak-kotak lantaran identitas keagamaan yang dianut siswanya. Sekolah akan semakin sulit menjadi ruang dialog karena tingkat keragaman latar belakang siswanya yang rendah, dan semakin eksklusif.

Radikalisme peserta didik bisa meliputi semua agama, bukan hanya Islam. Kini sekolah-sekolah telah tersekat-sekat oleh agama. Sekolah-sekolah negeri yang menggunakan embel-embel agama semula menerapkan sistem inklusif menjadi ekslusif.

Sekolah sudah terkena sindrom mayoritas, penganut agama terbanyak akan resisten terhadap penganut minoritas.

“Fenomena seperti ini belakangan sangat kuat. Jadi tak ada lagi ruang publik yang mempertemukan keberagaman dari siswa ini,” jelas aktivis pendidikan dari Walagri Aksara, Aripin Ali dilansir independen.id. (des)

Berita Lainnya

Terkini