Soal Tarif Pengacara, Ini Pandangan Presiden KAI

3 Maret 2017, 08:53 WIB
Tjoetjoe Sandjaja Hernanto (foto:kabarnusa)

DENPASAR – Besaran fee atau tarif jasa pengacara memang tidak ada standarisasi namun ada dua prinsip yang mesti dipegang dalam menentukan besaran fee dalam pendampingan hukum yakni asas kepatutan dan kesepakatan antara klien dan pengacara.

Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengungkapkan, tarif jasa pendampingan hukum itu, diberikan berkaitan dengan profesi sebagai advokat.

Menurutnya, profesi advokat sangat mulia, menjadi identitas juga profesi perjuangan sehingga selain berorientasi profit, tidak bisa dihindari dan tidak bisa dipungkiri, didalamnya ada nilai-nilai pengabdian yang melakat di dalamnya

Hal tersebut, kata Tjoetjoe, tidak bisa dikesampingkan ketika bicara bagaimana tarif atau biaya fee kepada advokat.

“Walaupun profesional masih menyisakan, memberikan ruang bagi mereka yang tidak mampu untuk dibela, tanpa haus dibayar, ada yang pro deo, kan begitu,” tegasnya usai pengambilan sumpah anggota KAI di Pengadilan Tinggi Denpasar Bali, Kamis (2/3/17).

Hanya saja, pihaknya juga mengingatkan masyarakat yang merasa tidak mampu secara ekonomi itu harus bisa menunjukkan ketidakmampuannya. Jangan sampai, nanti konglemerat pura-pura tidak berkemampuan finasial datang ke kantor hukum lalu minta dibela secara pro deo.

“Ini tidak boleh terjadi, Bagaimana tolak ukur mengenai biaya, ini memang belum standar, tetapi yang kita lakukan adalah tolak ukurnya kepatutan dan kesepakatan,” tukasnya.

Hanya saja, pengacara diingatkan tidak boleh memaksakan tarif kalau klien tidak setuju. Jadi, Semua harus dilakukan berdasarkan kepesepakatan. Pihaknya menganggap dalam menentukan besaran tarif, sifatnya negoisable bisa dibicarakan atau dinegosiasikan.

“Saya bicara kepatutan, apakah patut misalnya perkata perceraian mengutip Rp 90 juta, ya kalau cerainya raja Salman ya, tetapi bagi masyarakat kita, berlebihan sekali,” selorohnya.

Sejatinya tarif pengacara relatif sifatnya. Kalau semua sudah disepakati antara lawyer dengan klien, tidak ada masalah. Prinsip kesepakatan inilah yang harus dipegang teguh. Ditegaskan, kedepan pihaknya tengah memikirkan bagaimana menstandarkan tarif pengacara yang saat ini sudah mulai diwacanakan.

“Memang ini wacana, apakah tarif di Bali sama dengan di Jakarta, atau apakah tarif di Bali sama dengan di Lombok tentu berbeda-beda, Ini sangat relatif sekali, kami belum punya gambaran merumuskan ini, yang jelas kami pagari dengan prinsip kepatutan dan kesepakatan itu,” demikian Tjoetjoe. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini