Suara Petir dan Letusan Gunung Anak Krakatau Terus Terdengar di Lampung

26 Desember 2018, 08:26 WIB
Letusan Gunung Anak Krakatau/net

LAMPUNG – Warga di Pulau Sebesi dan Sebuku Provinsi Lampung terus mendengar suara letusan dan petir dari arah Gunung Anak Krakatau pasca terjadinya gelombang tsunami yang menghantam wilayah pesisir Lampung Selatan.

Akibat bencana tsunami, memporak-porandakan ratusan rumah warga di Desa Way Muli, Kunjir dan PPI Bom pada Sabtu 22 Desember 2018 malam. Di pihak lain, peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, masih memantik kekahawatiran warga yang tinggal di Pulau Sebesi dan Sebuku.

Sebelum dievakuasi, warga yang tinggal di Pulau Sebesi dan Sebuku yang wilayahnya paling terdekat dengan Gunung Anak Krakatau (GAK) tersebut semakin khawatir. Pasalnya, suara letusan GAK terjadi terus-menerus bahkan setiap menit dengan dibarengi adanya suara petir.

Tiga hari pascaterjadinya gelombang tsunami yang ditengarai akibat terjadinya erupsi GAK, warga Pulau Sebesi dan Sebuku memilih mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.

“Suara letusan GAK itu terjadi terus-menerus. Suaranya sangat keras sekali terdengarnya dari tempat tinggal saya,”kata Sulaiman (63), warga Pulau Sebesi dikutip teraslampung.com di Dermaga Canti usai dievakuasi oleh Tim SAR gabungan, Selasa 25 Desember 2018.

Saat kejadian gelombang tsunami, rumah miliknya hancur namun ia dan keluarganya selamat dan beberapa warga Pulau Sebesi lainnya mengungsi di dataran lebih tinggi. Meski selamat dari gelombang tsunami, namun kami tetap khawatiran bagaimana caranya agar bisa dievakuasi keluar dari tempatnya tinggal yang lokasinya memang dekat dengan GAK.

Kejadian gelombang tsunami ini, kata Sulaiman, memang sedikit berbeda dan tidak seperti biasanya aktivitas dari GAK tersebut. Karena suara letusan GAK itu terus menerus, bahkan letusannya hampir setiap beberapa menit sekali dengan dibarengi suara gemuruh petir.

Saat keluarganya mengungsi bersama warga lainnya, kami melihat sedikit berbeda aktivitas GAK ini dari biasanya. Jadi sudah suara gemuruhnya kuat, ditambah lagi petir terus menggelegar. “Anehnya, petir itu menghantam tepat di atas Gunung Anak Krakatau, Seperti menanjap gitu (di Gunung Anak Krakatau). Setelah itu barulah GAK itu meledak mengeluarkan larva,” ungkapnya.

Selain rumah miliknya hancur beberapa rumah milik warga lainnya ikut hancur setelah dihantam gelombang tinggi tsunami. Warga Pulau Sebesi lainnya, Nurmelis (43) dan suaminya saat keduanya berhasil dievakuasi oleh tim SAR Gabungan saat tiba di Dermaga Canti.

Nurmelis mengatakan, saat kejadian gelombang tsunami Sabtu malam 22 Desember 2018, malam itu ia bersama keluarganya sedang nonton televisi. Lalu sekitar pukul 21.00 WIB, terdengar suara dentuman suara ombak yang cukup besar dan dilihatnya air sudah masuk ke dalam rumahnya.

Tak lama berselang, kata Nurmailis, datang gelombang tinggi, saat itu juga ia bersama keluarganya langsung lari menyelamatkan diri menuju ke dataran yang tinggi. Sementara rumahnya hancur rata dengan tanah dihantam gelombang tinggi tsunami.

Diketahui, Gunung Anak Krakatau (GAK) mulai menunjukkan aktivitasnya, mulai Juni 2018 lalu. Aktivitas dari GAK tersebut, terus berfluktuasi selama enam bulan terakhir. Peningkatan aktivitas erupsi juga sempat terpantau tinggi, yakni pada September dan Oktober 2018 lalu.

Gelombang tsunami yang menghantam kawasan pesisir Lampung Selatan dan Anyer, Banten pada Sabtu 22 Desember 2018 malam lalu, ditengarai akibat adanya aktivitas erupsi GAK. Longsoran material ke laut disinyalir menimbulkan adanya gelombang tinggi dan memporak-porandakan ratusan rumah yang ada di wilayah pesisir lampung Selatan serta Anyer, Banten. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini