Sudah Saatnya Indonesia Memiliki “Search Engine” Sendiri

24 September 2016, 07:31 WIB

JAKARTA– Indonesia dipandang sudah saatnya harus memiliki mesin pencari seperti google guna mengurangi ketergantungan terhadap Google dan mesin pencari lainnya di dunia.

Hariqo Wibawa Satria, Direktur Eksekutif Komunikonten menyampaian itu dalam diskusi bertajuk “Kewajiban Pajak dan Filter Konten Bagi Raksasa Digital, Serta Literasi Digital Untuk Kepentingan Nasional Indonesia”, di Kantor Aliansi Jurnalis Independen, Jalan Kembang Raya 6, Jakarta Pusat belum lama ini.

Diskusi diadakan Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi.

“Kita tidak anti Google dan mesin pencari lainnya, justru kita termotivasi, jika Larry Page dan Sergey Brin bisa mengapa si Buyung, si Upik, si Ujang, dll tidak bisa. Motivasi lainnya adalah karena mereka tidak bayar pajak ke Indonesia, padahal keuntungannya dari iklan besar sekali”, jelas Hariqo Wibawa Satria.

Mengenai pendidikan media sosial untuk masyarakat, Hariqo menjelaskan Sejak ada internet, masyarakat yang awalnya sebagai penikmat konten sekarang jadi produsen.

Semua konten diproduksi koran, televisi, radio, media online, dll juga bisa diproduksi oleh masyarakat. Di google dan medsos ada banyak tulisan, foto, meme, film pendek, infografis, motion grafis, bahkan animasi yang diproduksi masyarakat.

Jadi, jika kemarin kita disuapin berbagai konten, sekarang kita jadi chefnya.  Dulu, tidak jarang kita mengkritik media yang menyajikan konten tidak mendidik seperti pornografi, kekerasan, memecah belah persatuan, dll.

Dengan hadirnya medsos, dituntut menjalankan kritik-kritik yang pernah disampaikan itu. Di Era medsos, setiap kita adalah kantor berita, setiap kita adalah pemimpin redaksi bagi akun medsos kita.

Dia melihat ada tiga isu utama terkait media sosial di Indonesia; keamanan, kreativitas, dan kolaborasi.

Isu keamanan yang paling banyak disorot adalah keamanan pengguna media sosial. Kasus pemerkosaan, penipuan, pornografi banyak dialami pengguna medsos.

Isu keamanan lainnya adalah, minimnya pengetahuan pengguna medsos tentang apa yang tidak boleh dilakukan di media sosial.

Term of use saat seseorang membuat internet harus dirubah dalam format tanya jawab, contoh pertanyaan, apakah jika kami memberikan akun anda siap tidak melakukan fitnah”, jelas Hariqo

Mantan Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menambahkan, media baru seperti Google, Facebook, Twitter, Yahoo dan lainnya, tidak murni sosial, mereka juga berbisnis.

Bisnisnya ini bersumber dari data pengguna yang diolah menjadi sebuah data, kemudian data itu

dijual kepada pengiklan. Agus Sudibyo juga menjelaskan bahwa Antara Amerika dan Google mempunyai kaitan erat, dari cara-cara mereka menghindari pajak, cara mereka mengumpulkan data ini tidak bisa dipahami hanya dengan pendekatan ekonomi semata, tetapi juga politik.

Media nasional di Indonesia tentu dirugikan, seperti koran cetak, online dan lainnya.

Pertama, jatah iklan mereka berkurang oleh media baru seperti Google, dll. Kedua, mereka juga dibuat cemburu, karena Google tidak bayar pajak, sementara media-media kita membayar pajak, sekarang ini tidak ada kesetaraan.

Satu wajib pajak, satu lagi bebas pajak”, jelas Agus Sudibyo yang juga Kaprodi Komunikasi Massa di Akademi Televisi Indonesia

Dalam diskusi ini juga dibahas tentang literasi digital, Akhyari Hananto dari Good News From Indonesia (@GNFI) mengatakan, idenya membuat GNFI setelah hasil survei yang dilakukannya terhadap 2000 orang menyebutkan bahwa anak-anak muda Indonesia pesimis terhadap masa depan Indonesia, salah satu sebabnya adalah karena banyaknya berita-berita negatif.

“Kita tidak masalah jika disebut bukan media online, kita lebih nyaman disebut sebagai sebuah gerakan, ya sebuah gerakan yang membangun kembali rasa percaya diri anak-anak muda, kami melakukannya dengan menyebarkan konten-konten positif”, tutup Akhyari des)

Berita Lainnya

Terkini