Jakarta – Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menilai perubahan Tata Tertib DPR No. 1 Tahun 2020, khususnya Pasal 228A yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mencopot pejabat tinggi negara yang dipilih melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi UUD 1945.
“Pejabat tinggi yang dapat diberhentikan melalui mekanisme Tatib DPR tersebut, antara lain Panglima TNI, Kapolri, pimpinan KPK, hingga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), bertentangan dengan konstitusi kita UUD 1945”, kata Noor Azhari dalam keterangan tertulis.
Menurut Noor Azhari, langkah DPR ini jelas bertentangan dengan prinsip ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 dan berpotensi merusak tatanan hukum.
“Pemberhentian pejabat tinggi negara seharusnya merupakan hak prerogatif eksekutif, bukan legislatif. Prinsip checks and balances yang menjadi pilar utama sistem pemerintahan presidensial akan terganggu jika DPR memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat tersebut”, urainya.
Secara hukum, keberadaan Pasal 228A tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk ultra vires atau tindakan yang melampaui kewenangan. Noor Azhari mengingatkan bahwa tumpang tindih kewenangan ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan membahayakan stabilitas sistem ketatanegaraan.
“Ini bukan sekadar perubahan aturan, tetapi ancaman terhadap prinsip negara hukum. DPR harus kembali pada tugas utamanya sebagai legislator, bukan malah mengambil peran eksekutif,” ujarnya.
Baginya, apa yang dilakukan DPR merupakan langkah yang keliru dan berbahaya.
“DPR seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, bukan menjadi lembaga eksekutor. Wewenang ini melampaui batas dan bertentangan dengan semangat konstitusi,” ujar Noor Azhari.
Ia juga mengecam pernyataan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Adian Napitupulu, yang menyarankan rakyat menggugat ke pengadilan jika tidak setuju dengan aturan tersebut. Menurut Noor Azhari, sikap seperti itu menunjukkan arogansi kekuasaan dan sangat menyakiti hati rakyat.
“Adian seharusnya mendengar dan menampung aspirasi rakyat, bukan justru menantang mereka. Ini bukan etika seorang wakil rakyat yang bijak,” tegasnya.
Selain itu, Noor Azhari menyoroti pernyataan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang beralasan bahwa perubahan Tata Tertib DPR tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan. Menurutnya, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum.
“Fungsi pengawasan tidak berarti memberikan kewenangan untuk mencopot pejabat tinggi negara. Ini justru melanggar prinsip good governance dan menunjukkan ketidakpahaman terhadap fungsi konstitusional DPR,” kata Noor Azhari.
Ia memperingatkan bahwa sikap DPR tersebut bisa mencoreng citra Presiden Prabowo Subianto di awal masa pemerintahannya.
“Pemerintahan baru berjalan tiga bulan, tetapi sikap DPR seakan arogan seperti ini, apalagi anggota DPR dari Fraksi Gerindra ini yang jadi Wakil Ketua DPR sering menimbulkan kegaduhan politik. Ini merugikan citra presiden dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan,” ungkap Noor Azhari.
Menurutnya, gaya politik Wakil Ketua DPR daru Fraksi Gerindra ini yang bertindak seolah-olah sebagai shadow president harus segera dihentikan.
“Jika terus dibiarkan, DPR akan menjadi lembaga yang terlalu dominan dan melampaui batas-batas kewenangan yang diatur dalam konstitusi,” tutupnya.***