Badung – Ubud di Kabupaten Gianyar Bali membutuhkan waktu hingga seratus tahun untuk bisa menjadi sebuah destinasi wisata dunia.
Wakil Gubernur Bali Prof. Tjok Oka Sukawati menyampaikan itu saat menjadi narasumber pada Seminar Working Group bertemakan “Building World-Class Green and Sustainable Tourism Village for Bali’s Recovery and Transformation through Social Innovation” di Hotel Merusaka, ITDC, Nusa Dua, Badung, Jumat, 23 September 2022.
Menurut mantan Bupati Gianyar ini, pembangunan desa wisata bukanlah pembangunan yang instan, memerlukan waktu hingga puluhan tahun.
“Bahkan Ubud membutuhkan waktu sampai seratus tahun,” ungkap Ketua PHRI Bali ini.
Karena hal itu harus dibarengi dengan pembangunan SDM masyarakat Desa itu sendiri.
Tokoh Puri Ubud ini, SDM masyarakat yang terbangun akan membantu mempertahankan keberadaan desa wisata itu sendiri.
“Desa yang bersih dan asri yang dijaga oleh masyarakat desanya akan menarik wisatawan untuk datang. Jadi bangun dulu SDMnya,” tegas dia.
Jika skema pembangunan pariwisata termasuk desa wisata itu sendiri sudah dibagi berdasarkan karakteristik wilayahnya.
Bali bagian utara akan dibangun pariwisata konservasi, Bali Barat pariwisata pertanian sedangkan Bali bagian timur pariwisata spiritual.
“Jadi kita sudah ada konsep yang berdasarkan konsep Dewata Nawa Sanga,” sambungnya.
Diungkapkan, tren wisatawan saat ini cenderung memilih destinasi wisata di alam terbuka sebagai tujuan wisatanya dengan udara yang bersih dan dan pengalaman yang diperoleh saat berada di lokasi wisata berbaur dengan masyarakat lokal merasakan sentuhan budaya setempat.
“Desa wisata adalah pilihan yang tepat untuk mengakomodir tren minat wisatawan tersebut, ” tandasnya lagi.
Di Indonesia diperkirakan ada 1.000 desa yang berpotensi untuk dikembangkan pariwisatanya, sementara di Bali terdapat 238 Desa Wisata yang telah ditetapkan oleh Bupati ataupun Walikota dengan berbagai kategori pengembangan yakni Rintisan, Berkembang, Maju dan Mandiri.
Menurut Cok Ace, Ubud sangat berkembang di Bali didukung oleh keunikan budaya, partisipasi masyarakat serta pesona alamnya yang indah serta dengan mengimplementasikan kearifan lokal “Tri Hita Karana”.
Hal ini juga bersinergi dengan Visi Pemerintah Provinsi Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” yakni melestarikan alam, budaya, dan mensejahterakan masyarakat Bali.
Lanjut dia, keberadaan desa wisata merupakan salah satu upaya mewujudkan destinasi hijau yang berkelanjutan yang penerapannya di pedesaan.
Keberlanjutan yang diharapkan dapat tumbuh adalah keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan budaya, keberlanjutan sosial ekonomi dan keberlanjutan dalam pengelolaanya.
Ditegaskan, bukan tidak mungkin ke depan keberadaan desa-desa wisata di Bali menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan kelas dunia. Seperti yang kita bisa kita lihat sekarang pada desa wisata Penglipuran, Tenganan, Pemuteran dan Mas.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno menyampaikan apresiasi kerja keras banyak pihak untuk membangun desa wisata di seluruh Indonesia, termasuk Bali.
“Bali bisa menjadi episentrum pembangunan desa wisata di seluruh Indonesia. Bali bisa menjadi center of excellent dalam pengelolaan desa wisata,” katanya menegaskan.
Keberadaan desa wisata juga diharapkan bisa mendongkrak kunjungan wisatawan hingga 30%, karena desa wisata akan menjadi daya tarik sendiri terutama bagi wisatawan mancanegara.
“Untuk itu kita butuh kolaborasi banyak pihak seperti dari private sector, NGO, masyarakat hingga Bappenas,” imbuhnya.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf Vinsensius Jemadu, yang mengatakan saat ini hanya Bali yang sudah membagi-bagi basis desa wisata sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah.
Bahkan hal tersebut sudah terorganisir dengan baik. Ia pun melanjutkan bahwa Kemenparekraf akan membangun setidaknya 7.500 desa wisata ke depan di seluruh Indonesia, dan Bali akan menjadi benchmarknya. ***