UU Perlindungan Anak Tak Maksimal Lindungi Korban Kekerasan

23 September 2014, 15:00 WIB

ilustrasi perceraian

KabarNusa.com – DPR  diminta tidak mengesahkan  perubahan  atas  UU  Perlindungan  Anak  (UU  PA)   pada  sidang  paripurna minggu depan.   

“Perubahan UU PA  yang dilakukan Komisi VIII  terkesan dipaksakan dan tidak  menjawab  persoalan  perlindungan  anak  saat  ini,”  kata Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Hery  Chariansyah,  SH.dalam rilisnya diterima KabarNusa.com, Selasa (23/9/2014).

Pihaknya khawatir, apabila DPR tetap memaksakan untuk mengesahkan UU perubahan atas UU PA saat ini, maka hal ini akan berdampak pada anak-anak Indonesia, di mana mereka hanya mendapatkan perlindungan yang seadanya.

Kekhawatiran ini, disebabkan karena perubahan atas UU PA yang telah ditetapkan Komisi VIII DPR RI pada Kamis 18 September  2014  lalu   sangatlah  minimalis,  tidak  menjawab  persoalan  kekerasan terhadap anak yang terus meningkat.

Perubahan  UU  PA  hanya  menambahkan   tentang   peran  daerah  dalam  upaya  perlindungan

anak,  sanksi  yang  lebih  berat  untuk  pelaku  kekerasan  seksual,  dan  masalah  akte  kelahiran.

“Padahal  persoalan  kekerasan  terhadap  anak  tidak  terbatas  pada  kekerasan  seksual,”  ujar Hery.

Bentuk  kekerasan  terhadap  anak  ada  berapa  macam,  yakni  kekerasan  fisik, psikologis, seksual, dan pengabaian.

Dan segala bentuk kekerasan terhadap anak tersebut  mengalami  peningkatan,  baik  secara  kualitatif  maupun  kuantitatif. 

“Sehingga,  bila amandemen  hanya  mengubah  sanksi  terkait  kasus  kekerasan  seksual,  perubahan  tersebut tidak bersifat substansial,” jelas Hery.

Data  menunjukkan  memang  terjadi  peningkatan  kekerasan  terhadap  anak.  Menurut  data  di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi  peningkatan  kasus  pengaduan pelanggaran hak anak, dari semula 2.178 kasus pada  2011  menjadi  3.512  kasus  pada  2012 (peningkatan  38%),  dan  meningkat  menjadi 4.311 kasus  (naik 18,5%)  pada 2013.

Adapun peningkatan kasus pengaduan pelanggaran hak anak  terjadi  di  hampir  semua  bidang,  yakni pada  kasus  kekerasan  terhadap  anak (meningkat  125%),  kasus  sosial  dan  anak  dalam  situasi  darurat  (meningkat  167%),  kasus kesehatan  anak  dan  NAPZA  (meningkat  198%),  dan  kasus  traficking  dan  eksploitasi (meningkat 15%).

prevalensi perokok remaja usia 14-19 tahun meningkat dari 12,7% pada tahun 2001 menjadi

20,3% pada tahun 2010. 

Selain itu, data Riskedas 2007 juga menyebutkan, bahwa sebanyak 3 43 juta anak terpapar asap rokok di tempat umum, dimana 11,4 juta di antaranya berusia 0-4 tahun.

Kondisi ini seharusnya menjadi keprihatinan pemerintah dan anggota DPR, dan seharusnya diakomodir  dalam  peraturan  terkait  perlindungan  terhadap  anak. 

Sebab,  perlindungan  anak dari zat adiktif rokok adalah hak konstitusional anak yang diamanatkan dalam pasal 28B ayat (2) UUD 45.(kto)

Artikel Lainnya

Terkini