Jakarta – Kebijakan kenaikan iuran BPJSKes sebesar 100 persen untuk semua kelas dinilai bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJSKes.
Dalam pandangan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, jika dilihat dari sisi intan finansial, kenaikan tersebut bisa menjadi solusi atas defisit finansial BPJSKes.
“Namun jika dilihat dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJSKes itu sendiri,” jelasnya dalam siaran pers diterima Kabarnusa.com, Sabtu (3/11/2019).
Setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontra produktif, yakni: pertama, akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJKes, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua dan seterusya.
Kedua, akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persenan. Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJSKes secara keseluruhan.
“Seharusnya, sebelum menaikkan iuran BPJSKes, pemerintah dan managemen BPJSKes melakukan langkah langkah strategis,” sarannya.
Langkah strategis itu adalah melakukan cleansing data golongan PBI. Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran; banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI.
Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI.
Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran. Kemudian mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJSKes, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJSKes.
“Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJSKes dari pada yang sudah menjadi anggota,” tegas dia.
Selain itu, mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJSKes. Baru saja Menkeu menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen.
Kenaikan cukai rokok urgent dialokasikan karena dampak eksternalitas negatif rokok, seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan aspek preventif promotif produk yang dikonsumsinya.
Jika ketiga poin itu dilakukan maka secara ekstrim kenaikan iuran BPJSKes tidak perlu dilakukan. Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen. Pasca kenaikan iuran YLKI meminta pemerintah dan managemen BPJSKes untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan handal.
Kata dia, tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJSKes dan non BPJSKes, tidak ada lagi faskes rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname.
“YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya faskes rujukan untuk meningkatkan pelayanan, dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua lini, baik layanan di IGD, poli klinik dan instalasi farmasi,” demikian Tulus. (rhm)