Jakarta – Kabut pagi masih menyelimuti perairan Ambalat ketika dua kapal patroli saling berhadapan di Laut Sulawesi. Di layar radar, mereka hanya noktah-noktah elektronik.
Di dek kapal, para pelaut Indonesia dan Malaysia saling memandang dengan waspada, warisan konflik 2009 yang belum benar-benar usai.
Inilah potret paradoks ASEAN: kawasan yang dipuji sebagai “oasis stabilitas” Asia, tapi di balik meja diplomasi, tersimpan puluhan luka lama yang siap terbuka setiap saat.
Kita mulai dari Sabah, tanah yang diperebutkan sejak era Kesultanan Sulu. Tahun 2013, kelompok bersenjata dari Filipina menyeberang ke Lahad Datu, memicu pertempuran berdarah.
“Ini bukan sekadar sengketa tua,” kata Dr. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, tapi bom waktu demografi. Migran Filipina di Sabah sudah setengah juta.
Jika Manila memanfaatkan ini, kita bisa menyaksikan krisis pengungsi baru. Yang mengkhawatirkan, China diam-diam membangun hubungan dengan kedua belah pihak—memberi pinjaman infrastruktur ke Malaysia sambil menjanjikan dukungan diplomatik ke Filipina.
Di perbatasan Thailand-Kamboja, Kuil Preah Vihear berdiri megah sebagai simbol perseteruan. Tahun 2011, artileri saling tembak menewaskan 28 orang.
Hari ini, bangunan itu dipugar megah dengan dana China. “Setiap pilar yang dibangun Beijing adalah pengingat: pengaruh mereka masuk melalui celah-celah konflik kita”, ujar Thitinan Pongsudhirak, analis politik Chulalongkorn University.
Fakta yang tak terbantahkan: 45% investasi militer Kamboja datang dari China, termasuk pelatihan pasukan elit.
Laut China Selatan: Medan Tempur tanpa Asap Mesiu
Di perairan ini, nelayan Vietnam seperti Nguyen Van .. (nama di samarkan) tahu betul arti ketegangan. “Tahun lalu, kapal China menabrak perahu saya. Mereka rampas ikan dan alat tangkap,” katanya sambil menunjukkan bekas luka di tangannya.
Insiden seperti ini terjadi 654 kali sepanjang 2023 menurut Catatan Pusat Studi Maritim Hanoi.
Tapi di balik kisah nelayan, ada permainan besar. Ketika Filipina mengizinkan AS membangun pangkalan militer di Cagayan, China membalas dengan merajam kapal riset Filipina dengan meriam air.
“ASEAN ibarat perahu yang penumpangnya tak sepakat kemana harus berlayar”, kritik Ian Storey dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Fakta pahitnya: Kamboja dan Laos kerap memveto pernyataan bersama mengkritik China—bukti retakan yang dieksploitasi habis-habisan oleh Beijing.
Perseteruan Air dan Pasir: Perang Sumber Daya Diam-diam
Masih segar ingatan ketika Malaysia mengancam menaikkan harga air ke Singapura hingga 1000% tahun 2018. “Bayangkan jika keran ditutup besok”, kata Prof. Chong Ja Ian dari NUS, “Singapura punya teknologi desalinasi, tapi 40% pasokan masih dari Johor hingga 2061.” Ketergantungan ini membuat Singapura seperti “memegang bom waktu”.
Sementara itu, di perairan Kepulauan Riau, kapal keruk Singapura dilarang beroperasi sejak 2007. “Ekspor pasir kami stop karena merusak terumbu karang,” tegas Menteri Kelautan Indonesia Sakti Wahyu Trenggono awal 2024. Bagi Singapura yang butuh 1 miliar ton pasir untuk perluasan pelabuhan, ini pukulan strategis.
Tambahan lagi, kebijakan Indonesia memprioritaskan LNG untuk domestik membuat Singapura resah—negara pulau itu mengimpor 96% gasnya dari tetangganya.
Kekuatan Global: Menari di Atas Retakan
Filipina mungkin contoh paling gamblang. Mereka memperbarui pakta pertahanan dengan AS (2023), mengizinkan lima pangkalan baru. Tapi di saat bersamaan, proyek Bandar Udara Sangley senilai $10 miliar dikerjakan perusahaan China.
“Kami seperti menikah dengan dua kekuatan sekaligus,” keluh seorang diplomat Filipina yang tak mau disebut namanya.
Thailand bahkan lebih lihai. Mereka membeli jet tempur F-35 dari AS sekaligus kapal selam Yuan Class dari China. “Ini jalan tengah berbahaya”, kata Anthony Davis dari 𝘑𝘢𝘯𝘦’𝘴 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘭𝘭𝘪𝘨𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸. “Jika perang AS-China pecah, Bangkok harus memilih—dan pilihan apa pun akan berdarah”.
Di Myanmar, junta militer bergantung pada rudal Rusia. Di Vietnam, 60% persenjataan berasal dari Moskow—peninggalan Perang Dingin. “Rusia tak punya uang seperti China, tapi mereka jual senjata dengan harga ‘persahabatan”, ujar Le Hong Hiep dari Fulbright University Vietnam.
Bayang-bayang Sejarah yang Tak Pernah Pergi
Ingatkah kita pada Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966)? “Orang tua saya bercerita bagaimana pesawat Indonesia menjatuhkan selebaran anti-Malaysia di Serawak”, kata Budi, pedagang perbatasan di Kalimantan.
Sentimen itu masih hidup, dan kerap muncul saat sengketa Ambalat memanas.
Atau trauma Kamboja terhadap Vietnam—bekas penjajah yang diusirnya tahun 1989. “China paham luka lama ini”, ujar Sophal Ear dari Universitas Oxford, “Mereka membiayai museum genosida Pol Pot di Phnom Penh, sekaligus melatih tentara Kamboja—strategi untuk mengerdilkan pengaruh Hanoi”.
Jalan ke Depan: Bencana atau Terobosan?
“ASEAN bukan kumpulan malaikat”, ujar Kishore Mahbubani mantan diplomat Singapura, “Tapi kita master dalam ‘hedging’.
Masalahnya, ketika dua gajah bertarung, rumput di bawahnya hancur.” Ancaman terbesar bukan perang terbuka, melainkan “kematian perlahan”:
- Fragmentasi saat negara anggota terbelah pro-AS vs pro-China
- Militerisasi terselubung lewat pakta pertahanan bilateral
- Eksploitasi konflik lokal oleh raksasa global Henry Kissinger pernah memuji ASEAN sebagai “keajaiban diplomasi”, tapi dia juga memperingatkan: “Ujian sejatinya datang ketika kepentingan nasional membentur solidaritas kawasan”.
Di tengah badai ini, ada secercah harapan. Insiden di Ambalat beberapa bulan lalu berakhir damai setelah komunikasi langsung panglima militer Indonesia-Malaysia. “Kami sepakat: apapun terjadi, tembakan pertama tak boleh dilepaskan”, kata Jenderal Andika Perkasa. Momen-momen seperti ini—jantung diplomasi ASEAN yang sesungguhnya.
Seperti dikatakan Robert Kaplan, Laut China Selatan adalah “Laut Tengah-nya Asia”, siapa yang berkuasa di sini, akan menguasai perdagangan dunia.
Tapi bagi nelayan Nguyen, diplomat Filipina, atau Jenderal Andika, ini bukan sekadar teori geopolitik. Ini tentang air yang mereka minum, tanah yang mereka pijak, dan perdamaian yang harus mereka jaga di tengah badai kekuatan besar.
ASEAN mungkin rapuh, tapi sejarah membuktikan: dari rapuhnya kaca, lahirlah mozaik yang paling indah..Semoga.***
Referensi
- 𝘚𝘶𝘬𝘮𝘢, 𝘙. (2023). 𝘕𝘰𝘯-𝘛𝘳𝘢𝘥𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘛𝘩𝘳𝘦𝘢𝘵𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯. 𝘊𝘚𝘐𝘚 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘉𝘳𝘪𝘦𝘧.
- 𝘗𝘰𝘯𝘨𝘴𝘶𝘥𝘩𝘪𝘳𝘢𝘬, 𝘛. (2024). 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘍𝘰𝘰𝘵𝘱𝘳𝘪𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘔𝘢𝘪𝘯𝘭𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢. 𝘊𝘩𝘶𝘭𝘢𝘭𝘰𝘯𝘨𝘬𝘰𝘳𝘯 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘚𝘤𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦.
- 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘦𝘺, 𝘐. (2023). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘍𝘳𝘢𝘤𝘵𝘶𝘳𝘦𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘱𝘦𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘕𝘰. 45.
- 𝘔𝘢𝘩𝘣𝘶𝘣𝘢𝘯𝘪, 𝘒. (2022). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘏𝘦𝘥𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘨𝘦 𝘰𝘧 𝘙𝘪𝘷𝘢𝘭𝘳𝘺. 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘈𝘴𝘪𝘢 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭.
- 𝘒𝘢𝘱𝘭𝘢𝘯, 𝘙. (2014). 𝘈𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘊𝘢𝘶𝘭𝘥𝘳𝘰𝘯: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘌𝘯𝘥 𝘰𝘧 𝘢 𝘚𝘵𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤. 𝘙𝘢𝘯𝘥𝘰𝘮 𝘏𝘰𝘶𝘴𝘦.
- 𝘒𝘪𝘴𝘴𝘪𝘯𝘨𝘦𝘳, 𝘏. (2014). 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳. 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘶𝘪𝘯 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
- 𝘛𝘳𝘦𝘯𝘨𝘨𝘰𝘯𝘰, 𝘚.𝘞. (2024). 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘙𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 𝘔𝘢𝘯𝘢𝘨𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺. 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘔𝘪𝘯𝘪𝘴𝘵𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘯𝘦 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴.
- 𝘋𝘢𝘷𝘪𝘴, 𝘈. (2023). 𝘛𝘩𝘢𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥’𝘴 𝘋𝘶𝘢𝘭-𝘛𝘳𝘢𝘤𝘬 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘴𝘦 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺. 𝘑𝘢𝘯𝘦’𝘴 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘭𝘭𝘪𝘨𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸.
- 𝘌𝘢𝘳, 𝘚. (2024). 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢’𝘴 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘤 𝘋𝘪𝘭𝘦𝘮𝘮𝘢: 𝘉𝘦𝘵𝘸𝘦𝘦𝘯 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘝𝘪𝘦𝘵𝘯𝘢𝘮. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘎𝘦𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴.
- 𝘗𝘦𝘳𝘬𝘢𝘴𝘢, 𝘈. (2024). 𝘋𝘪𝘳𝘦𝘤𝘵 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘗𝘳𝘦𝘷𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘌𝘴𝘤𝘢𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘪𝘯 𝘈𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘵. 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘴𝘦 𝘘𝘶𝘢𝘳𝘵𝘦𝘳𝘭𝘺.